SATELITNEWS.ID, TANGERANG—Mediasi pembebasan lahan proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2 ruas jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran antara warga Kampung Baru, Kelurahan Jurumudi, Benda, Kota Tangerang dengan pihak pelaksana pembangunan tak membuahkan hasil. Kebuntuan terjadi lantaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) belum memberikan surat balasan terhadap tuntutan warga pada pertemuan mediasi untuk ketiga kalinya di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa (15/12).
Kuasa hukum warga, Anggi Alwik Juli Siregar mengatakan pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupr) belum menggubris surat tentang persoalan warga. Sehingga, pada mediasi yang ketiga ini kembali berakhir deadlock.
“Karena memang awalnya kita menunggu respon suratnya tapi hingga detik ini belum ada dari PUPR. Jumat (4/12) dikirim kemarin kita ketemu Martono (pihak pengembang) memang dia bilang masih di Dirjen belum ke PUPR,” ujarnya kepada Satelit News, Selasa (15/12).
Diakui, Anggi dirinya pun tak mengetahui jelas isi surat tersebut. Karena surat itu dilayangkan oleh pihak PT Jasamarga Kunciran Cengkareng sebagai kontraktor Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut atas usulan mediator. Padahal surat tersebut telah dilayangkan setelah awal mediasi pertama yakni Jumat, (4/12) lalu.
“Kita tidak bisa melihat isi suratnyanya apa. Apakah surat itu berbicara soal angka 7 juta per meter yang diinginkan warga atau gimana? Kita tidak tau. Surat belum direspon mediasi ketiga tadi juga tidak ada. Bahkan Martono tidak hadir,”ujarnya.
Dalam mediasi kemarin, pihak tergugat yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Badan Pertanahanan Nasional dan PT Jasamarga Kunciran Cengkareng (JKC) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang hadir dengan diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing. Namun, Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan Appraisal Firman Aziz tak hadir.
“Jadi kita minta ditunda Minggu depan atau Selasa 22 Desember 2020. Sembari nunggu surat dari Martono ke PUPR,” kata Anggi.
Para korban terdampak gusuran yang sejak Senin (14/12) mendirikan posko di depan Puspemkot Tangerang kemudian berupaya masuk untuk menemui Wali Kota Tangerang Aref R Wismansyah. Sempat terjadi kericuhan lantaran mereka memaksa masuk ke dalam Puspemkot Tangerang. Dorong-dorongan di pintu gerbang Barat Puspemkot antara warga dan petugas Satpol PP pun tak terhindarkan sebelum akhirnya warga berhasil masuk.
Warga sempat dipertemukan dengan pihak Pemkot Tangerang yakni Kepala Satpol PP, Agus Henra F beserta jajaran dan Bagian Hukum Sekretariat Daerah yang diwakili oleh staffnya, Titto Chairil Yustiadi.
Titto menjelaskan Pemkot Tangerang sudah mencoba menengahi persoalan warga Jurumudi ini. Namun, lantaran permasalahan ini muncul akibat proyek strategis nasional maka Pemkot Tangerang hanya menunggu proses hukum yang di PN Tangerang Klas 1 A.
“Jadi agenda mediasi ini kita sudah diwakilkan oleh Bu Diah karena kita pihak tergugat. Pada dasarnya ini sudah disepakati dari kuasa hukum warga minta perpanjangan waktu karena menunggu surat balasan dari PUPR. Jadi mediasi ini belum final,” ungkapnya.
Dia mengatakan saat ini Pemkot Tangerang juga posisinya sama yakni menunggu surat tentang kompensasi dibalas oleh KemenPUPR. “Sama-sama kita hormati proses hukum karena hanya itu caranya,” imbuh Titto.
Titto mengatakan mediasi membutuhkan waktu satu bulan sebelum masuk ke pengadilan. Saat ini mediasi sudah memasuki pekan ke 3. Sehingga masih ada waktu sepekan lagi.
“Kita punya mediasi 1 minggu lagi. Kita akan optimalkan mediasi tingkat PN. Kita akan maksimalkan waktu mediasi. Minggu depan hasilnya sudah diketuk,” kata dia.
Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Kota Tangerang Adib Miftahul mendesak pemerintah pusat khususnya Kementerian PUPR bergerak cepat merespon aksi warga Jurumudi mengingat Pemkot Tangerang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan harga pasar atas lahan. Penilaian harga lahan dilakukan oleh tim appraisal dari Kementerian PUPR.
“Sejatinya Pemkot Tangerang tak memiliki kewenangan untuk mengabulkan keinginan warga. Sebab semua diputuskan oleh tim apprasial,” ungkap Adib, Selasa (15/12).
“Kini tim apprasial harus melakukan proses penghitungan ulang agar harapan warga ini bisa diakomodir,” sambungnya.
Adib menilai, aksi yang dilakukan oleh warga tersebut sebagai bentuk harapan warga kepada Pemerintah Daerah untuk membantu menyelesaikan masalah yang tak kunjung menemui titik terang.
“Namun harus dipahami warga, keputusan akhir berada di Pemerintah Pusat, bukan di Pemda. Karena Pemda hanya sebagai fasilitator,” ujarnya.
Selain itu, Adib juga mendesak agar Kementerian PUPR mampu bertindak cepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memperhatikan berbagai aspek. Tentunya agar aset yang dimiliki warga hilang begitu saja atau nilai yang diterima tak sesuai harapan.
“Warga memiliki aset tersebut untuk hidup, jangan sampai hilang. Jadi harus diperhatikan lagi sesuai dengan kebutuhan kedepannya dan tak kehilangan tempat tinggal,” tegasnya.
Di lain kesempatan, Sekretaris Daerah Kota Tangerang Herman Suwarman menjelaskan Pemkot telah berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat terkait masalah pembayaran lahan untuk proyek pembangunan Jalan Tol Bandara, ruas Cengkareng-Batuceper-Kunciran atau JORR II.
“Siang ini sudah disampaikan melalui Asisten Deputi Pengaduan Masyarakat Kemensetneg untuk disampaikan ke Presiden,” ungkap Herman.
Sebagai informasi, sebelumnya pada tanggal 2 September 2020 telah dilakukan eksekusi pengosongan dan penyerahan lahan sesuai surat ketua Pengadilan Negeri (PN) Tangerang per 8 Mei 2020 nomor 21/PEN.EKS.2020PN.TNG Jo. Nomor. 161/PDT.P.CONS./2019/PN.TNG . Adapun lahan yang dikosongkan tersebut untuk pembangunan jalan bebas hambatan, perkotaan dan fasilitas Jalan Daerah satuan kerja pengadaan tanah jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran dan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sebanyak 27 Kepala Keluarga (KK) menolak pembebasan lahan tersebut. Lantaran, kompensasi yang diberikan dinilai tak sesuai dengan harapan. 27 KK itu rata-rata hanya ditawarkan Rp 2 juta per meter. Saat ini mereka menuntut kompensasi sebesar Rp 7 juta per meter. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post