SATELITNEWS.ID, BENDA—Isak tangis warga pecah ketika eksekusi penggusuran 27 bidang lahan proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2 dilakukan di Kampung Baru Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, Selasa (1/9). Sebagian pemilik lahan yang bertahan menuntut uang ganti rugi dibayarkan terlebih dahulu sebelum eksekusi dilaksanakan.
Eksekusi terhadap lahan seluas 6.000 meter persegi itu dimulai dengan pembacaan berita acara pengosongan dan penyerahan lahan oleh tim juru sita dari Pengadilan Negeri Tangerang. Perintah pengosongan dan penyerahan lahan ini tertera pada surat penetapan ketua Pengadilan Negeri (PN) Tangerang per 8 Mei 2020. Lahan dibebaskan untuk pembangunan jalan bebas hambatan, perkotaan dan fasilitas jalan daerah satuan kerja pengadaan tanah jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2.
Pembebasan lahan dilakukan dengan kawalan ketat aparat kepolisian. Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengerahkan alat berat untuk merobohkan bangunan milik warga.
Sebanyak 300 jiwa dari 40 kepala keluarga terdampak pembangunan proyek strategis nasional itu berbeda sikap. Sebagian sudah menerima sedangkan sebagian lainnya menolak. Para warga yang menolak itu pun tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya pasrah dan menangis. Namun, mereka tetap menyuarakan tuntutannya.
“Bayar dulu ini rumah saya. Saya ngga bakalan kabur. Saya yang akan eksekusi sendiri,” ujar Abdul Rojak, warga terdampak proyek JORR 2 kepada Satelit News, Selasa (1/9)
“Ini orang rumah orang tua. Saya ngga pindah. Uang dulu. Kami tidak mau kalau belum dibayar,” kata Abdul.
Hal senada diungkapkan Aina. Bahkan ia sempat pingsan untuk mempertahankan rumahnya.
“Kami mau tinggal dimana. Saya udah lama di sini. Jangan jebol rumah saya,” tegasnya.
Warga lainnya, Kiki mengaku tak mendapatkan kepastian untuk rumah singgah pascadigusur. Warga, kata dia, memang sempat mendapat tawaran untuk pindah di rumah singgah yang terdapat di Kelurahan Rawa Bokor Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang dan Jurumudi Kecamatan Benda Kota Tangerang. Namun, rumah tersebut tak ada realisasinya.
“Katanya kita mau dikasih rumah singgah. Rumah singgahnya mana ? Kita ini dijebak. Coba mana rumah singgahnya” ujar Kiki.
Dia pun bingung harus tinggal dimana nantinya. Sementara dana ganti rugi proyek Strategis Nasional (PSN) ini tak kunjung cair.
“Ngga tau saya bingung. Dijanjiin rumah singgah doang. Ini warga kemana tinggalnya nanti,” ujarnya seraya berlinang air mata.
Diakuinya semua akses untuk berkomunikasi dengan pihak terkait kini telah tertutup. “Kita kan ga mikirin diri sendiri. Emang ini tanah girik ? Tanah sengketa ? Bukan ini tanah hak milik. Ya Allah bener-bener jahat. Coba sekarang pejabatnya pada hilang,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Titin. Ibu satu anak ini bingung harus berbuat apalagi. Sementara rumahnya sudah akan diratakan.
“Nggak tau saya bingung mau tinggal dimana nanti. Uang ganti rugi belum turun,” ujarnya.
Dia mengatakan terjadi ketidakadilan soal harga yang ditawarkan. Tanah pemukiman warga dibayar hanya 2,7 juta rupiah per meter persegi. Sementara untuk tanah sawah dihargai 7,3 juta rupiah per meter persegi. Oleh karenanya warga menolak.
“Tanah saya hanya dihargai 2,7 juta. Itu yang di depan tanah sawah 7 juta. Tapi duitnya belum turun,” ujar Titin.
Di lain pihak, Kuasa Hukum Kementrian PUPR dan Legal Konsultan Jasa Marga, Rishi Wahab mengatakan eksekusi pembebasan dan penyerahan lahan diklaim telah sesuai prosedur yang berlaku. Surat pemberitahuan pengosongan sudah disampaikan sejak 27 Agustus 2020. Namun, masih banyak warga yang menolak lantaran menurut mereka nilai ganti rugi terlalu rendah. Padahal nilai tanah sudah sesuai penilaian dari kantor jasa penilai publik (KJPP).
“Nilai ganti rugi nya sudah sesuai penilaian dari KJPP namun mereka minta tiga kali lipat,” ungkap Rishi.
Ia menegaskan pihaknya telah menjalankan tahapan-tahapan sesuai legal hukum. Diantaranya penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi). Artinya, uang telah dititipkan di pengadilan. Sehingga bila warga ingin mencairkan dana tersebut dapat diambil ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan memberikan alas hak kepemilikan.
“Dapat surat pengantar dari BPN dan diajukan ke pengadilan. Biasanya dua hari juga cair tanpa potongan apa pun,” ujarnya Rishi.
Rishi mengatakan proyek tersebut sudah tidak dapat diganggu gugat. Sehingga warga sudah tidak dapat menghalang-halangi Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Kenapa dititipkan ke pengadilan karena alasan tanah bersengketa atau warga tidak mau menerima,” paparnya.
Dijelaskan Rishi, tim kuasa hukum juga sudah mengajukan permohonan teguran pada Maret lalu kepada Ketua Pengadilan Negeri Tangerang. Selanjutnya pihak pengadilan memberi peringatan 8 hari agar segera melakukan pengosongan secara sukarela namun ternyata tidak diindahkan oleh termohon.
“Maka kuasa hukum dapat mengajukan permohonan pengosongan lahan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tangerang sesuai dasar hukum pasal 95 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” jelasnya.
Diketahui, sesuai pasal 42 ayat 1 UUD nomor 2 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa setelah dilakukan penitipan ganti kerugian kepada pengadilan kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hangus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post