SATELITNEWS.COM, SERANG—Sebanyak 25 persen siswa Sekolah Menengan Atas (SMA) di Provinsi Banten mengalami slow learner atau lambat belajar. Kondisi tersebut menyebabkan peserta didik kurang tanggap terhadap mata pelajaran, dan dia menyerah terhadap kondisi kelasnya sehingga menyebabkan ia mengundurkan diri dan putus sekolah.
Hal tersebut terungkap dari survei yang dirilis oleh Gawekuta Instute dan Komunitas Nalar di Studio SultanTV, Serang, Selasa (27/3/2023). Hadir menjadi narasumber dalam rilis survei tersebut, yakni Founder Gawekuta Institute, Bahroji, peneliti utama Ginanjar Hambali dan pembedah Iik Nurulfaik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Dalam paparannya, Ginanjar Hambali menjelaskan slow learner atau kondisi dimana peserta didik mengalami lamban belajar karena memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata anak sebayanya, tetapi tidak termasuk dalam kategori peserta didik dengan hambatan intelektual (biasanya memiliki IQ antara 70-90).
“Di salah satu SMA yang bukan sasaran program inklusi, ditemukan 249 peserta didik dari 900 peserta didik mengalami kategori lamban belajar,” ungkap Ginanjar dalam rilis yang bertema Potret Pendidikan Inklusi di Banten.
Gin menguraikan, angka tersebut sangat mengkhawatirkan, mengingat Banten saat ini sedang giat mendorong Angka Partisipasi Sekolah (APS). “Kalau melihat kenyataan di lapangan, tentu saja kelambanan dalam belajar ini akan berakibat pada peserta pendidik mengalami putus sekolah sehingga APS di Banten akan menurun,” tegasnya.
Gin menambahkan, sejauh ini sekolah dengan program inklusi masih terbatas dan membutuhkan perhatian khusus. “Mungkin untuk membuat sekolah inklusi itu mahal ya. Sehingga jalan keluarnya, bisa dilakukan dengan melatih beberapa guru yang paham tentang pendidikan inklus,” ungkapnya.
Gin juga menyinggung tentang kewenangan pemerintah daerah terhadap sekolah inklusi. “Kalau berdasarkan wawancara dengan beberapa guru, khususnya sekolah Inklusi SD dan SMP mereka saat ini bingung masuk kewenangan siapa,” ujarnya.
Pengamat Pendidikan UPI, IIq Nurulfaik meyakini, kenyataanya angka-angka yang terungkap akan lebih banyak dari yang disurvei. Hal ini ia ungkapkan karena melihat pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi belum memiliki grand design yang baik dalam melayani anak didik berkebutuhan khusus atau pendidikan inklusi ini.
IIq mengarisbahawi pentingnya pemerintah dalam merespon survei ini. “Ini temuan di lapangan yang harus direspon. Pendidikan itu untuk semua, sehingga sudah menjadi amanat undang-undang untuk menggali potensi anak tanpa ada pembedaan,” jelas Iiq seraya berharap Pemerintah Provinsi Banten mengambil sikap atas potret pendidikan inklusi yang terjadi saat ini.
Founder Gawekuta Institute, Bahroji berharap temuan ini menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan stakeholder. “Pentingnya kita untuk melakukan survei dan riset untuk menemukan fakta. Evaluasi di lapangan dengan basis data harus menjadi concern pemerintah,” ungkapnya.
Bahroji menambahkan, tradisi survei untuk memotret kebijakan-kebijakan publik ini perlu dilakukan agar menjadi pedoman para policy maker. “Dengan begitu ada chek and balance dan bisa melahirkan kebijakan berkelanjutan serta pro public,” ungkap Bahroji. (rls/dm)
Diskusi tentang ini post