SATELITNEWS.ID, SERANG–Sejumlah petani di Kabupaten Serang, mengeluhkan kelangkaan pupuk dan harga jual sayuran yang sangat rendah. Kondisi ini terjadi pada musim tanam tahun ini, khususnya selama pandemi Covid-19.
Kelompok tani tomat Kampung Sindang Jaya, Desa Tonjong Kecamatan Kramatwatu, Anai Hasan mengatakan, saat ini pupuk jadi salah satu masalah yang dihadapi petani. Dimana saat petani butuh pupuk, ketersediaan pupuk malah langka.
“Mulai dari TSP, NPK, terus Urea. Bapak sampai wa ke group petani, baru kali ini selama jadi kelompok tani, mau mupuk tapi enggak ada, jadi pakai pupuk organik,” kata Anai, Minggu (23/8).
Alasan langkanya pupuk katanya, karena kuota sudah habis. Padahal ia sendiri dan petani lain banyak yang belum menebus pupuk. Ia pun sudah mengadukan masalah tersebut kepada dinas pertanian, pihak dinas menyebutkan akan menambah kuota pupuk.
“Bilangnya mau di tambah kuota, kan masalah nya kuota bapak belum nebus, kalau nambah berarti pupuk habis padahal petani banyak yang belum pada nebus,” tambahnya.
Menurutnya, dengan langkanya pupuk dipastikan akan dapat berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Sementara untuk progres pertanian saat ini para petani sudah selesai menanam, baik padi juga sayuran.
“Tinggal tunggu panen. Padi juga sudah pada bunting. Pemuupukan sudah beres, walau (persediaan pupuk) ada juga sudah telat karena pertumbuhan padi sudah bunting,” ujarnya.
Selain persoalan pupuk, kata dia masalah harga sayuran juga kini diakui jadi kendala. Seperti harga jual sawi, dari biasanya mencapai Rp 2 ribu per kilo, kini hanya dihargai Rp 700 per kilo. Ia menduga anjloknya harga ini akibat adanya Pandemi Covid-19.
“Tanam sayuran apapun itung itungan usaha enggak ada. Sayuran banyak sawi, timun, cabe, pare, jadi kalau di bapak tanaman semaunya petani. Bawang belum tanam paling bulan 11,” tuturnya.
Biasanya sayuran tersebut di jual ke Pasar Rau dan Pasar Kranggot. Namun karena harganya murah, banyak petani yang lebih memilih membiarkan sayurannya tidak dipanen atau membusuk. “Banyak sawi enggak di panen karena hitungannya rugi. Sekarang hanya Rp 700 minimal (harga) sawi Rp 2 ribu masih ada untungnya. Kalau Rp 700 kita muruh kerja setimbang berarti Rp 70 ribu, yang kerja sekarang sudah Rp 90 ribu, belum kopi, rokok, jadi Rp 100. Kalau yang kerja dapat Rp 70 ribu maka dari sawi nombok Rp 30 ribu, makanya dibiarkan busuk,” paparnya.
Ia berharap, kedepan pemerintah bisa memperhatikan petani penggarap. Bilamana petani panen, ia ingin harga bisa stabil. “Enggak menuntut muluk tinggi harus sesuaikan saja, kalau pembeli di kota inginnya harga turun, petani ingin naik, yah ada imbang saja biar petani enggak rugi,” imbuhnya. (sidik/mardiana)
Diskusi tentang ini post