BEBERAPA hari terakhir, jagad opini politik publik dihebohkan oleh pernyataan politik presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan sambutannya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Pro Jokowi (Projo) di Magelang. “Makanya, untuk urusan politik, ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Jokowi. Pesan ini ditafsirkan oleh para pengamat politik sebagai soft declaration untuk pencapresan Ganjar Pranowo di 2024.
Kecuali itu, sebenarnya juga ada tafsir lain yang tak kalah penting untuk dibaca, yakni ini adalah pesan keras Jokowi kepada Megawati dan PDIP agar bisa lebih bersikap rasional jika masih menginginkan menjadi partai pemenang di pemilu presiden di 2024. Mengapa? Mengacu pada realitas politik empirik dua periode kepemimpinan Jokowi, terlihat bahwa faktor kemenangan PDIP di pemilu presiden 2014 dan 2019, sebagian besarnya ditentukan oleh popularitas dan pengaruh besar Jokowi. Pada 2014 Mega bertindak rasional untuk menyerahkan tiket pencalonan presiden PDIP ke Jokowi, dan hasilnya Jokowi menang. Demikian juga saat pemilu presiden di 2019, kembali Mega memberi tiket PDIP ke Jokowi, dan Jokowi kembali sukses.
Saat ini, meski Jokowi bukan lagi sebagai capres di 2024, tapi tingkat kepuasan publik atas kinerjanya masih sangat tinggi, yakni di kisaran 70% lebih. Karenanya posisi determinasi Jokowi di pemilu 2024 akan sangat menentukan. Itulah mengapa ketika Prabowo Subianto ditanya Jokowi, apakah akan mencalonkan diri menajadi presiden? Maka secara cerdas dan diplomatis, Prabowo menjawab, “Kalau ada izin bapak.” Prabowo menyadari besarnya determinasi Jokowi pada preferensi pilihan rakyat atas calon presiden di 2024. “Siapapun yang didukung oleh Jokowi punya kemungkinan besar untuk menang,” tegas Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya.
Ketokohan Jokowi, yang pada awal keterpilihannya sebagai presiden diragukan dengan ragam julukan pihak oposisi dengan sebutan Jokowi sebagai kucing kampung atau boneka Mega karena penampilannya yang ndeso dan tidak meyakinkan. Tapi kini Jokowi bukan sekadar politisi yang jadi presiden, tapi dia telah menjelma menjadi tokoh politik kawakan di level nasional maupun Internasional. Jokowi akan menjadi the real king maker perpolitikan Indonesia ke depan. Jokowi telah menunjukkan kecanggihan politik soft powernya. Dia telah menjadi tokoh politik yang hegemonik infiltiratif yang brilian.
Betapa tidak? Kecerdasan Jokowi mampu menguasai tentara dan kepolisian tanpa harus menggunakan politik kasar seperti Soeharto. Juga berbeda dengan Soeharto, Jokowi menguasai parta-partai tanpa harus menggunakan aksi politik manipulatif dan otoritarianisme model Soeharto yang lebih sering menggunakan kekuatan tentara untuk mengintimidasi partai-partai politik lawan sehingga secara rela atau terpaksa harus mendukung kekuasaan rezim Orde Barunya Soeharto. Nyatanya meski Jokowi bukan ketua sebuah partai tapi menurut Veri Muhlis Arifuzaman (Direktur Konsepindo), dia adalah seorang ketua umum partai-partai yang dapat menguasai dan menggerakkan partai-partai sesuai dengan arah politiknya tanpa harus menggunakan tekanan kekuatan tentara yang massif dan sistematis.
Maka kini, yang harus berhitung dengan keras dan cermat adalah Megawati dan PDIP yang sebagian elitnya masih ngotot ingin memberikan tiket pencalonan presiden atau wakil presiden kepada Puan Maharani. Jika, Megawati dan PDIP dapat bertindak cerdas rasional seperti saat di pemilu 2014 dan 2019, maka PDIP berpotensi besar akan menjadi the ruling party tiga periode berturut-turut. Namun Jika Megawati dan PDIP bertindak emosional dengan memaksakan pemberian tiket pencalonan kepada Puan Maharani maka peristiwa kegagalan PDIP di pemilu di 2004 dan 2009 akan kembali kembali menjadi kenyataan yang pahit. Calonnya akan gagal menjadi presiden di 2024.
Jelas gestur politik Jokowi di Rakernas V Projo telah menjadi sinyal yang mempressure (menekan) Megawati dan PDIP agar bertindak lebih rasional dan menghindari sikap emosional yang telah terbukti menjerumuskan pada kegagalan. Maka keukeuhnya sikap Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Bambang ‘Pacul’ Wuryanto, dapat menjadi sinyal keputusan politik emosional yang akan berujung pada kekalahan.
Kecuali itu, yang juga harus dibaca dengan cerdas oleh Megawati dan PDIP adalah gestur politik partai Golkar, PPP dan PAN yang telah mendeklarsikan diri sebagai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KIB ini disinyalir digerakkan oleh kalangan elit di lingkaran Jokowi. Ini merupakan pesan kuat jika PDIP bersikap keras kepala dan tidak beradaptasi dengan arus utama politik yang ‘dikomandoi’ Jokowi maka PDIP harus menanggung pahitnya sebuah kekalahan.
Kini kita tinggal menyaksikan apakah keputusan Megawati dan PDIP akan menunjukkan kematangan emosional dan kepiawaiannya seperti saat dalam pemilu 2014 dan 2019? Atau akan disandera oleh sikap emosional yang harus memaksakan diri mencalonkan Puan Maharani. Kondisinya masih fifty-fifty. Apakah karakter politik Megawati akan sekuat di 2014 dan 2019 saat dia membuat keputusan politik rasional dan mandiri tanpa rengekan dan intervensi perasaan seorang anak kepada ibunya? Kadang seseorang jika bersikap mandiri tanpa pengaruh intervensi perasan seorang anak akan lebih kuat dan lebih rasional. Ketimbang jika telah terintervensi oleh perasaan sang anak. Bisa saja keputusan politik Megawati akan berbeda dibanding keputusan politik di 2014 dan 2019 yang berarti keputusannya akan bersifat emosional dan potensial berujung pada kekalahan. Wallahu a’lam bishowwaab. (*)
*(Ketua Umum Jaros 24)