TANGERANG, SN—Lahirnya keberagaman di wilayah Tangerang adalah keberagaman beragama. Kepercayaan itu sudah terbangun lama dari ratusan tahun yang lalu. Hal itu dibuktikan dari adanya tempat peribadatan Agama Budha sejak dahulu dan berdirinya klenteng-klenteng.
Hal ini diungkapkan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar, saat memimpin Dialog Keagamaan dengan tema “Memperkuat Moderasi Beragama Dalam Mewujudkan Kabupaten Tangerang Semakin Toleran”. Tujuan kegiatan ini untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, serta toleransi antara umat beragama di Kabupaten Tangerang.
Acara yang berlangsung di Aula Darma Wanita Pendopo Bupati Tangerang, Kota Tangerang, Selasa (30/11/2021) ini, turut menghadirkan Ketua FKUB Kabupaten Tangerang, serta seluruh perwakilan dari enam pemuka agama di Kabupaten Tangerang.
“Pemerintah Daerah pun harus peka dan sensitif terhadap perkembangan wilayah yang ada di Tangerang Raya. Jadi memang dari kawasan Tangerang Raya ini merupakan daerah percampuran, baik itu keberagamaan agama, juga adat dan budaya. Keberagaman itu sebetulnya menjadi satu potensi yang sangat luar biasa,” ungkap Zaki.
Lanjut Zaki, jalur dan jaringan komunikasi dibuka luas, untuk bisa mendengar dan juga menyerap aspirasi terhadap kebutuhan-kebutuhan warga yang saat ini sangat luar biasa sekali keberagamannya. “Maka dari itu, kerukunan itu benar-benar perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh kaum dan seluruh umat beragama, sehingga ke depan menjadi satu kekuatan kita,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, KH Maski selaku Ketua FKUB Kabupaten Tangerang mengatakan, Islam itu agama yang toleran, Islam itu mengatur bukan hanya urusan akhirat saja, tetapi urusan dunia pun diatur dalam Agama Islam. “Rasulullah pun diutus ke dunia untuk mengasihi sesama mahluk, bukan hanya sesama manusia saja, karena Islam itu Rahmatan Lil’ Alamin,” jelasnya.
Menurut KH Maski, nenek moyang dan juga wali songo yang menyebarkan Islam di Indonesia, masih menjaga kerukunan dan persatuan umat. “Kita liat contoh masjid di Kudus yang dibangun di zaman wali songo, itu menggunakan ornamen dan arsitektur budaya setempat yaitu Agama Hindu. Jadi dari situ kita bisa belajar dan mengambil hikmah, apa yang diajarkan oleh pendahulu kita,” tandasnya.
Martulus Manullang, pendeta di Resort Kutajaya mengungkapkan, bahwa toleransi merupakan harga mati. Bukan hanya NKRI yang harga mati, tetapi toleransi juga merupakan harga mati.
“Jika kita berbicara tentang toleransi dalam ajaran Agama Kristen, sudah dari awalnya diedukasi, khususnya melalui anak-anak bahwa keragaman itu adalah merupakan suatu anugerah,” pungkasnya. (aditya)