SATELITNEWS.ID, TANGERANG—Burhanudin (49) pegawai Bagian Kesra pada Setda Pemkot Tangerang menulis asal muasal nama kampung di Kota Tangerang. Karyanya yang pertama memberikan informasi dan membahas sejarah dan keunikan nama kampung menjadi kado HUT Kota Tangerang ke-25 tahun 2018 lalu.
Warga Karang Tengah Kota Tangerang ini menceritakan, penulisan buku asal muasal nama kampung berawal saat menerima tantangan dari Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah. Permintaan tersebut menjadi syarat “Lolo Butuh” pengajuan kepindahannya dari Kemenag ke Pemkot Tangerang.
“Tahun 2015 mengajukan pindah dari Kemenag ke Pemkot, karena beda “rumah” saya juga sebelumnya status sebagai penghulu sementara di Pemkot tidak ada posisi itu, arahan dari BKPSDM agar meminta persetujuan Wali kota, saat itu Pak Wali bertanya apa yang bisa diberikan untuk Kota Tangerang? Saya jawab saya bisa menulis. Lalu Wali Kota meminta menulis buku asal muasal nama kampung, karena beliau belum mengetahui detail tentang itu,” terang Burhanudin belum lama ini.
Dengan semangat tersebut, dia menyanggupi dan memulai meriset buku asal muasal nama kampung di Kota Tangerang. Selama dua tahun sejak 2015-2017 Burhanudin menyusuri 104 kelurahan untuk mengumpulkan data ditambah waktu 6 bulan untuk proses penulisan buku. “Proses pencarian data dilakukan dengan menargetkan 1 kecamatan 1 bulan,” katanya.
Burhanudin menceritakan, kunci sukses dalam proses pencarian data dengan mencari tokoh masyarakat yang dituakan di suatu kampung. “Jalurnya pertama didatangi adalah lurah, kemudian juga mendatangi tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemuda yang mengetahui sejarah kampung,” ungkapnya.
Dari banyaknya tokoh yang didatangi, Burhanudin berkesan saat berada di Kelurahan Pakojan, Kecamatan Pinang. “Saat itu ada seorang tokoh sedang sakit namun masih sangat persuasif dan masih bisa menjawab dengan baik, sampai buku ini terbit beliau sudah meninggal dunia,” kata Burhanudin.
Buku sejarah asal muasal nama kampung yang ditulis Burhanudin memuat sejarah tutur yang belum pernah ada buku sebelumnya. Ada pun buku-buku sebelumnya yang ditemui hanya buku-buku mini yang sebagian besar wilayah Sunda ditulis oleh peneliti Belanda seperti contohnya asal muasal nama Pabuaran.
Di luar itu kata Burhanudin, belum ditemui referensi dan sejarah nama kampung di Kota Tangerang. Dari 250 lebih nama kampung yang berhasil dihimpun, terdapat satu nama kampung yang unik dan tak terbayangkan sejarahnya yaitu Koang Jaya, di Kecamatan Karawaci.
Burhanudin menceritakan, asal muasal nama Koang Jaya berdasarkan sejarah bertutur tokoh masyarakat berasal dari kisah adanya pemuda melancong ke rumah pacarnya. “Saat keduanya mengobrol kemudian si perempuan ingin kentut karena malu dan saat itu ada dandang akhirnya kentutnya ditaruh di dandang dan menghasilkan bunyi koang akhirnya kampung tersebut disebut nama Koang Jaya,” ungkapnya.
Buku kedua karya Burhanudin berjudul Nyi Mas Melati Srikandi dari Tangerang diluncurkan bertepatan dengan peringatan Hari Ibu di Kota Tangerang pada Desember 2021 lalu. Buku tersebut berkisah tentang perjuangan Nyi Mas Melati dalam berjuang melawan kesewenang-wenangan penjajah.
Burhan sapaan akrabnya mengungkapkan, ditulisnya buku Nyi Mas Melati berawal dari kegelisahannya terkait minimnya informasi, referensi dan literatur tentang Nyi Mas Melati di berbagai media baik buku-buku sejarah ataupun di internet. “Ternyata penulis di web-web itu hanya duplikasi-duplikasi yang menceritakan bahwa perjuangan Nyi Mas Melati terjadi pada tahun 1900 atau pejuang kemerdekaan,” ujarnya.
Namun ada satu penulis buku yang terbit pada tahun 1972 menjelaskan bahwa perjuangan Nyi Mas Melati terjadi pada tahun 1700 atau se zaman dengan kakeknya Arya Wangsakara dan waktunya tidak berjauhan dengan keberadaan Deandels di Indonesia.
Burhan kemudian menelusuri dibantu dengan buku milik keluarga keturunan Nyi Mas Melati didukung informasi dari ahli waris Nyi Mas Melati. Hasilnya diketahui Nyi Mas Melati memang perintis kemerdekaan bukan pejuang kemerdekaan seperti yang selama ini beredar di masyarakat. “Melalui buku ini saya mencoba meluruskan berita beredar bahwa semua orang bilang Nyi Mas Melati ada di tahun 1900 ternyata dibawa itu yaitu tahun 1700,” kata dia.
Tak berhenti dengan dua buku yang sudah diluncurkannya. Burhan saat ini tengah menyusun buku ketiga yang mengangkat tentang Benteng Tangerang. Buku tersebut rencananya akan diluncurkan bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI ke 77 pada 17 Agustus mendatang.
“Buku ini ingin menyampaikan bahwa bangunan Benteng di Kota Tangerang memang benar ada namun sekarang tinggal nama saja. Benteng pernah berdiri di tahun 1700,” ungkapnya. “Dikarenakan bangunan Benteng yang berada pinggir sungai otomatis tergerus oleh zaman,” tambahnya.
Burhan mengatakan, sejarah keberadaan Benteng di Kota Tangerang cukup kuat berdasarkan catatan sejarah perjalanan orang Belanda. “Sangat jelas termasuk desain dan bagian-bagian bangunannya ga berbeda jauh dengan Benteng-Benteng yamg dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda,” terangnya.
Berdasarkan penuturan salah satu narasumbernya, Benteng Tangerang tahun 70an masih terlihat bangunannya yakni pilar-pilarnya yang salah satunya terletak di dekat Masjid Baiturohman. “Kalau sekarang di lokasi ada semacam dekorasi berbentuk benteng sebagai tanda Kota Tangerang yang dikenal Kota Benteng memang pernah ada bangunan fisik Benteng Tangerang,” ujar dia. Ditambahkannya, melalui buku ini mencoba membawa pembacanya kembali ke zaman dimana Benteng tersebut berfungsi melindungi warga eropa yang ada di Tangerang.(made)