Mangrove merupakan tumbuhan yang kaya akan manfaat. Selain membentengi daratan dari abrasi laut, tanaman dikotil itu juga memiliki potensi komoditas pangan dengan berbagai olahannya. Para pemuda di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang kini tengah berupaya melestarikan hutan mangrove. Namun, jerih payah mereka dibayang-bayangi pembebasan lahan untuk megaproyek properti. Bagaimana kisahnya ?
IRFAN MAULANA, Teluknaga
Enam tahun sudah, sejak 2016 KTH Tanjung Burung fokus pada pelestarian mangrove. Awalnya, pelestarian mereka lakukan di pantai sampah yang lokasinya berada di hilir sungai Cisadane, masih di desa yang sama. Namun, seiring dengan waktu, pulau tersebut sudah dibeli oleh salah satu pengembang. Mau tak mau, mereka harus angkat kaki.
“Jadi di sana kan ada tanah timbul (daratan yang sengaja dibuat) dipakai buat tambak sama masyarakat. Tanah itu sudah dijual sama pengembang. Jadi kita tidak bisa di sana lagi,” ujar Ketua KTH Rawa Burung, Abdul Gofur kepada Satelit News beberapa waktu lalu.
Meski tergusur, para pemuda tak menyerah. Mereka terus mencari lahan untuk melestarikan tanaman itu. Di akhir tahun 2019, mereka mendapatkan izin untuk mengelola hutan mangrove di lahan milik Perhutani. Tak tanggung-tanggung, luasnya mencapai 55 hektare yang terbagi di dua wilayah. 41 hektare masuk di wilayah Desa Tanjung Burung, sedangkan 14 hektare di Tanjung Pasir. Lokasi itu, kini disebut juga Eduwisata Mangrove Tanjung Burung.
“Jadi itu awalnya mangrove semua. Setelah ada perjinan alih fungsi kawasan hutan, akhirnya dengan orang yang punya duit lahan itu digarap dan dijadikan empang. Nah, sekarang PR kita nih untuk kembali melakukan penghijauan di lahan itu,” jelas Gofur.
Namun, lahan tersebut tak langsung mereka tanami dengan mangrove. Baru di Desember 2020 mereka mulai penanaman awal. Sebanyak 13 ribu bibit mangrove mereka tanam di lokasi tersebut.
Kata Gofur, KTH Tanjung Burung tak bekerja sendirian. Bersama para pecinta alam dari berbagai kelompok, mereka bahu-membahu. Salah satunya, dari Kelompok Stacia Hijau (KSH) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sudah 6 tahun mereka berkolaborasi dalam pelestarian mangrove.
“Selain pelestarian mangrove kita juga fokus edukasinya. Banyak mahasiswa dan masyarakat yang datang ke sini. Dulu para pemuda enggak tahu soal mangrove, sekarang jadi tahu. Dan pengetahuan itu kita share ke masyarakat,” ucap pria 26 tahun ini.
Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris KTH Tanjung Burung, Marbawi. Kata dia, melestarikan mangrove ini penuh pengorbanan. Tak terpikirkan secuil pun untuk mencari keuntungan materi dari pelestarian tersebut.
“Kita dulu hanya anak muda yang dididik untuk ngaji, sekolah dan dapat kerja. Ngurusin kampung itu enggak ada,” katanya.
“Kita dididik oleh Stacia Hijau edukasi mangrove, identifikasi mangrove, cara pendampingan ke masyarakat dan penyampaiannya,” tambah Marbawi.
Pada awalnya, kata Marbawi KTH Tanjung Burung harus mencari bibit mangrove ke lokasi lain di pesisir Kabupaten Tangerang. Namun, kini mereka bisa produksi sendiri bibit tersebut.
“Pertama, karena kita cari bibit ke luar kampung. Kita dapat lalu disemai, dalam jangka waktu tiga bukan kita panen lalu kita tanam,” tutur Marbawi.
Upaya pelestarian mangrove ini membawa mereka meraih prestasi. Pertama, pada 2018, KTH Tanjung Burung menjadi juara 2 lomba DAS se-Provinsi Banten dengan mempresentasikan edukasi, pembibitan, penanaman dan olahan mangrove. Lalu, juara 1 tingkat nasional di Bali dengan presentasi yang sama.
Penghijauan kawasan hutan mangrove membutuhkan waktu yang lama hingga bertahun-tahun sampai memastikan tanaman tersebut tumbuh rimbun. Dari proses awal, penyemaian membutuhkan waktu tiga sampai 6 bulan baru kemudian dapat ditanam.
“Bisa kita nyatakan hidup itu setahun. Setelah itu terus hidup, kalau sudah ditanam tergantung merekalah (mangrove). Asal enggak dirusak manusia,” ucap pria 29 tahun ini.
“Dari penataan dan perawatan hutan ini kita mau kembalikan identitas Ranjung Burung. Tanjung Burung terkenal dengan banyak burung, kalau pohonnya di tebang itu tidak ada burung untuk berkembang biak. Makanya kita mau balikin identitas desa Tanjung Burung,” tambahnya.
Marbawi menuturkan terdapat sejumlah jenis mangrove yang ada di lokasi itu. Diantaranya rhizophora Sp, briguera Sp, avisenia Sp dan soneratia SP. Dari jenis itu masih dibagi lagi. Kalau ditotal, terdapat 11 jenis mangrove dari 4 jenis yang berbeda.
“Perbedaannya dari bentuk akar, daun, pucuk, rangkaian bunga dan buah,” kata dia.
Selain pencegah abrasi, mangrove juga dapat dijadikan olahan pangan. Sejumlah pangan yang telah mereka produk dari mangrove diantaranya keripik, mie, sirup, dodol, minuman ringan, es krim, kue dan kopi.
“Ini sudah kita jual. Mangrove ini menjadi potensi ekonomi masyarakat desa Tanjung Burung,” ungkap Marbawi.
Harapan Marbawi dan para pemuda KTH Tanjung Burung itu tak semulus yang mereka pikirkan. Mereka harus melawan gempuran proyek besar properti. Hal itu sudah mereka rasakan.
Sebagian lahan warga kini telah dibebaskan untuk pembangunan perumahan. Hal itu diprediksi akan terus berlanjut. Sebab, desa Tanjung Burung masuk dalam site plan atau rencana pembangunan megaproyek properti dari salah satu pengembang besar.
“Site plan itu kan sudah tersebar. Jadi kita juga was-was. Meskipun belum ada pembebasan lahan lagi. Tapi sebagian warga sudah ada yang ditawar lahannya,” ungkap Marbawi.
Dari site plan yang diperoleh Satelit News, megaproyek tersebut tampak sangat besar. Dimulai dari ujung Kecamatan Kosambi hingga Kronjo.
“Mangrove ini tempatnya habibat hewan laut. Kepiting bakau, udang peci dan lain lain. Kalau hutannya ditebang habislah ekosistem,” kata Marbawi.
Pantauan di lokasi, nampak truk-truk pengangkut tanah berlalu lalang di hamparan lahan luas yang sudah dibebaskan. Sebagian alat berat juga terlihat tengah mengeruk tanah dan meratakannya.
Sebagian lahan itu sudah didirikan perumahan mewah. Bila ke lokasi Eduwisata Mangrove Tanjung Burung, Marbawi dan kawan-kawan harus melewati proyek tersebut.
“Ini sudah ada penambahan daratan. Kalau enggak ditangani tingkat abrasi luas, nanti bisa seperti di Bekasi, muara gembong satu kampung hilang,” ucap Marbawi.
Menurut Marbawi di pesisir Kabupaten Tangerang terdapat 1.600 hektare kawasan perhutanan sosial yang seharusnya ditanami mangrove. Namun, hanya 570 hektare saja yang ditanami mangrove.
“Itu ada di tujuh kecamatan desa pesisir. Kosambi, Teluk Naga, Pakuhaji, Mauk, Kemiri dan Kronjo,” ungkapnya.
Kata dia, keterlibatan Pemerintah dalam pelestarian mangrove ini minim. Penamaan mangrove yang Pemerintah lakukan dinilai hanya sebatas seremoni. Sebab tak diimbangi dengan pelestariannya. Ditanam kemudian ditinggal hingga akhirnya mati.
“Mudah-mudahan apa yang kita perjuangkan dari nol, kita harap pemerintah desa, kecamatan, kabupaten provinsi sampai kementerian datang ke tempat kita buat lihat langsung kondisinya seperti apa, gimana caranya kita pertahankan kawasan hutan yang katanya mau diambil alih,” tegas Marbawi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang, Achmad Taufik mengklaim konservasi mangrove rutin dilakukan. Biasanya Pemerintah Kabupaten Tangerang menggandeng kelompok lain bekerjasama untuk menanam mangrove.
“Baik di pantai Kronjo, Tanjung Pasir Aqua Culture. Sudah berlangsung lama itu, di Teluknaga, terus di beberapa pantai kabupaten, di pantai Kronjo sudah. Sekarang sudah ada 20 ribu (mangrove yang ditanam) di Aqua Culture,” katanya.
Dirinya pun sadar betul soal manfaat mangrove. Menurut Taufik, dari 1.600 hektare lahan hutan sosial yang ditanami mangrove sudah mencapai 800 hektare di pesisir Kabupaten Tangerang.
“Saya kita sudah bukan 500 hektare saya kira sampai 800 hektare. Karena sudah terus menerus menanam mangrove,” tutur Taufik.
Kata Taufik, dalam konservasi mangrove yang menjadi tantangan memang konsistensinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga mangrove tetap hidup Pemerintah Kabupaten Tangerang bekerjasama dengan masyarakat lokal dan kelompok pecinta alam.
“Kami dengan pemerintah desa dan kecamatan terus mengajak untuk pada saat penanaman mangrove. Kita lakukan sosialisasi untuk bersama sama agar mangrove itu bisa dipelihara oleh masyarakat setempat, masyarakat pesisir. Banyak juga kelompok pecinta atau pemerhati lingkungan yang terlibat,” jelasnya.
Juru Kampanye Laut Greeenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan secara ekologi mangrove itu sebagai salah satu ekosistem potensial di pesisir. Manfaat untuk daerah laut, mangrove akan menjadi pelindung bagi perairan. Baik dari sampah, lumpur dan segala macam sendimentasi ancaman yang dapat merusak ekosistem laut.
“Di daratan juga dia berfungsi sebagai pelindung jadi ketika ada gelombang besar, atau tsunami bahkan itu bisa mengurangi dampak gelombang tsunami itu. Termasuk abrasi,” katanya.
Sebenarnya kata dia, Pesisir Kabupaten Tangerang hanya menjadi salah satu wilayah yang terdampak abrasi laut karena minimnya hutan mangrove. Ada beberapa wilayah yang juga terdampak, seperti Muara Gembong di Bekasi dan beberapa daerah lain.
“Itu dampaknya kenaikan air laut yang luar biasa bahkan sampai habiskan permukiman warga (di Muara Gembong), Tegal dan Brebes,” katanya.
Dia mengatakan secara geologi waktu yang dibutuhkan untuk normalisasi hutan mangrove tak sebentar. Poinnya kata Afdillah bukan hanya menanam melainkan perawatannya. Kata dia, hal ini yang belum dilakukan oleh Pemerintah.
“Ini yang enggak ada sebenarnya, Jadi deklarasi menanam mangrove ber- hektare hektar itu saya belum melihat itu sebagai solusi ya. Karena yang penting perawatannya,” tuturnya.
“Jadi pemerintah enggak serius, pemerintah sudah tau mangrove penting. Jangka panjang bisa jadi solusi tapi dalam implementasinya Pemerintah belum serius,” tambah Afdilah.
Justru masyarakat lokal yang berhasil mengembangkan mangrove. Masyarakat di daerah pesisir yang terdampak langsung paham betul soal manfaat mangrove untuk keseimbangan ekosistem.
“Seperti di di Maros (Sulawesi Selatan) (berhasil kembangkan hutan mangrove). Tapi di Tangerang saya belum pernah tapi ancamannya memang besar karena pesisir Utara menjadi target pembangunan,” katanya.
Kata dia secara regulasi mangrove dilindungi. Hal itu, berdasarkan Undang-Undang (UU) Kehutanan dan nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya memandang mangrove sebagai hutan.
Lalu, UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Secara regulasi mangrove itu memang harus dilindungi yah. Apakah di Kabupaten Tangerang mangrove itu sudah masuk di dalam zonasinya, itu yang akan jadi hutan mangrove ?. Kalau itu jadi industri dan segala macam ya percuma saja kalau masyarakat nanam,” jelasnya.
Berdasarkan Draf Rancangan Peraturan Daerah Rencana (Ranperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP3K) Provinsi Banten tahun 2019-2023 yang diperoleh Satelit News, Kabupaten Tangerang tak masuk dalam kawasan konservasi dan lindung. Pada pasal 26 tentang kawasan konservasi pesisir dan Pulau-Pulau Kecil hanya meliputi wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang.
Lalu, pasal 27 tentang kawasan konservasi maritim hanya terdapat di Kabupaten Serang. Kemudian, pasal 28 tentang kawasan konservasi perairan meliputi Kabupaten Pandeglang. Serta, di pasal 29 kawasan lindung terdapat di Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Namun demikian, Kabupaten Tangerang masuk pada zona pariwisata. Pada pasal 14 disebutkan Kawasan Pemanfaatan Umum (KPU) di perairan Kabupaten Tangerang yakni di Kecamatan Kosambi, Teluknaga, Mauk dan Kronjo.
Empat kecamatan itu dalam Ranperda juga disebut masuk pada zona pelabuhan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Zona Perikanan Tangkap. Lalu Zona Perikanan Budidaya yang ditambah dengan kecamatan Pakuhaji dan Sukadiri. Kemudian, zona energi. Dimana pada pasal 23 disebut pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terdapat di Kecamatan Kemiri.
Pada pasal 33, Kecamatan Kosambi, Pakuhaji, Kronjo dan Mauk juga masuk zona Pelayaran dan Perlintasan. Serta di pasal 37 disebutkan Jabodetabekpunjur di perairan utara Kabupaten Tangerang masuk Kawasan Strategis Nasional.
Diketahui, draf Raperda tersebut sudah disahkan menjadi Perda pada 7 Januari 2021 lalu. Namun, belum dirilis secara resmi. (*)