SATELITNEWS.ID, JAKARTA—Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, ada sembilan isu krusial terkait pemungutan suara dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Hal itu didapat berdasarkan hasil pengawasan 50 hari tahapan kampanye.
Bawaslu memetakan isu-isu krusial yang perlu dibahas lebih lanjut dengan penyelenggara pilkada lainnya, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut Abhan, sembilan isu krusial tersebut, pertama soal perangkat aturan perundang-undangan yang belum tuntas. Kedua, penegakan protokol kesehatan dalam pemungutan dan pemilihan suara. Ketiga, ketersedian logistik dalam bentuk APD di TPS. Keempat, kesiapan SDM penyelenggara. Kelima, saksi dan pengawas memastikan seluruhnya dalam keadaan sehat.
Keenam, soal pemenuhan hak pilih bagi masyarakat yang berstatus karantina atau pasien covid-19, antisipasi bagi pemilih yang menolak penggunaan masker. Ketujuh, pengaturan TPS agar tetap aksibel dan memenuhi standar ukuran luar TPS mengingat penambahan TPS khusus. Kedelapan, aturan jaga jarak. Terakhir, kesembilan soal penggunaan cairan penyatisasi tangan mengakibatkan mudah pudarnya tinta sebagai tanda pemilih.
“Isu-isu krusial dari hasil pengawasan tahapan kampanye ini masih menjadi hal yang masih dibicarakan Bawaslu dalam melakukan pengawasan. Ini harus disegerakan untuk dibahas bersama penyelenggara sehingga tidak ada keraguan dalam menjalankan tugas pengawasan,” ujar Abhan dalam keterangannya, Selasa (24/11).
Lebih lanjut Abhan menjelaskan, isu-isu krusial ini dapat memberikan preseden buruk dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Oleh sebab itu, lanjut Abhan, perlu harmonisasi penyelenggara dalam memahami bersama terkait isu-isu krusial tersebut.
“Bagaimana isu perlengkapan pemilihan yang meliputi dasar hukum pencetakan jenis dan jumlah formulir, waktu pencetakan, dan distribusi serta akses informasi dan keamanan pendistribusian masih perlu untuk dibahas secara bersama-sama guna mendukung pelaksanaan pilkada 2020 berjalan demokratis, jujur dan adil,” katanya.
Ini merupakan salah satu potensi permasalan yang dapat mengganggu pelaksanaan pilkada 2020 nanti. Oleh karena itu bersama-bersama untuk mencari solusi pencegahan untuk isu-isu krusial ini.
“Sehingga kita dapat melaksanakan tugas-tugas penyelenggara pemilu secara sinergi,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata meminta calon kepala daerah (cakada) untuk secara terbuka dan valid melaporkan sumbangan kampanye yang diterimanya. Kejujuran dalam pelaporan tiap sumbangan kampanye, merupakan ukuran integritas cakada.
“Salah satu indikator integritas cakada adalah kejujuran melaporkan tiap sumbangan kampanye. Hasil survei KPK tahun 2018 menemukan 82,3 persen cakada menyatakan adanya donatur atau penyumbang dalam pendanaan Pilkada,” kata Alex dalam Pembekalan Cakada dan Penyelenggara Pilkada Serentak 2020 di Wilayah Provinsi Jambi, Jawa Tengah (Jateng), Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Maluku secara daring, Selasa (24/11).
Menurut Alex, korupsi kepala daerah, berhubungan erat dengan kecenderungan kepala daerah terpilih untuk membalas jasa atas dukungan dana dari donatur, sejak proses pencalonan, kampanye, sampai pemungutan suara.
Sebab, harapan donatur kepada kepala daerah, sesuai survei KPK pada 2018, adalah kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender proyek pemerintah, keamanan menjalankan bisnis, kemudahan akses donatur atau kolega menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD.
Alex menyebut, kemudahan akses menentukan peraturan daerah, prioritas bantuan langsung, serta prioritas dana bantuan sosial (bansos) atau hibah APBD. Bahkan, berdasarkan evaluasi KPK, kata Alex, ada lima modus korupsi kepala daerah melakukan praktik rasuah. Diantaranya, intervensi dalam kegiatan belanja daerah, mulai Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial (bansos), dan program, pengelolaan aset, hingga penempatan anggaran pemerintah paerah (pemda) di BUMD.
Selain itu, melakukan intervensi dalam penerimaan daerah, mulai pajak daerah atau retribusi, pendapatan daerah dari pusat, sampai kerja sama dengan pihak lain. Serta perizinan, mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan, sampai pemerasan.
“Kemudian benturan kepentingan dalam proses PBJ, mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan perangkapan jabatan. Hingga penyalahgunaan wewenang, mulai pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat, hingga pemerasan saat pengurusan rotasi, mutasi, atau promosi ASN,” ungkap Alex. (jpg/jpg)
Diskusi tentang ini post