SATELITNEWS.ID, TANGERANG–Pemerintah daerah se-Tangerang Raya telah meningkatkan status kejadian luar biasa (KLB) menjadi tanggap darurat bencana non alam. Hal tersebut menyusul semakin banyaknya pasien yang Positif Covid-19, oleh karenanya Tangerang Raya masuk dalam Zona Merah.
Di tengah-tengah mewabahnya Covid-19 tak melulu merugikan. Bagi sebagian orang, bencana ini malah menjadi tambang emas. Seperti yang dialami Saring Siswanto, seorang pengrajin peti mati di Kota Tangerang, tepatnya di Jalan TMP Taruna. Diakuinya, selama Covid-19 mewabah, jumlah pemesan peti mati mengalamai peningkatan.
Tak jauh dari Museum Juang Daan Mogot terdapat 1 tempat yang memproduksi peti mati. Lokasinya sedikit tertutup. Luasnya hanya sekitar 5×6 meter. Sekilas tempat tersebut seperti gudang penyimpanan saja. Penampakkannya usang tanpa ada sanggahan beton, hanya bilik triplek dan kayu. Namun, bila dilihat hingga dalam baru dapat menyadari kalau itu merupakan tempat pembuatan peti mati.
Kemarin, Satelit News mencoba menyambangi lokasi tersebut. Saat itu terdapat seorang pria paru baya tengah membuat pesanan peti mati. Dia adalah Saring Siswanto. Pria 51 tahun ini memang terbiasa memproduksi peti mati, meski kini dibantu rekannya, yakni Nur Ali yang berprofesi sebagai sopir ambulance. “Saya kerjakan sendiri mulai dari design. Tapi kadang ada yang bantu, tapi juga gak setiap hari. Kadang dia (Nur Ali) bantu sebisa dia saja,” ujarnya sembari mengerjakan peti mati yang hampir jadi, Rabu, (25/3).
Saring meengungkapkan kalau ada lonjakan permintaan peri mati selama Covid-19 mewabah, yang otomatis membuat pendapatannya pun bertambah. Biasanya, Saring hanya mendapat permintaan 1 kali dalam seminggu atau mungkin tidak sama sekali. “Tergantung permintaan saja,” imbuhnya.
Sudah tiga hari ini dia mendapat pesanan 10 peti mati. Menurut Saring, pesanan peti mati itu akan digunakan sebagai stok rumah sakit di wilayah Banten untuk pasien yang meninggal karena Covid-19. Hal tersebut dia ungkapkan karena sebelum memesan, pihak rumah sakit telah melakukan koordinasi terkait kegunaan pati mati untuk pasien.
“Kan sebelum saya buat mereka (pemesan) memberitahu peti matinya untuk jenazah apa? Jadi saya bisa tahu dari sana. Pihak rumah sakit bilang untuk itu (jenazah Covid-19),” ungkapnya.
Harga yang dia tawarkan untuk 1 peti mati bervariasi. Khusus untuk jenazah karena virus dihargai mulai 1,8 hingga 2 juta rupiah, tergantung dari motifnya. Sementara peti untuk jenazah biasa dihargai 1,5 sampai 1,7 juta rupiah.
Bahan utama yang digunakan sebenarnya sama dengan peti mati lain, yakni kayu triplek ukuran 8 inchi. Hanya saja, kalau peti mati yang digunakan untuk jenazah terkena virus ditambahkan dengan alumunium dengan ketebalan 5 sampai 8 milimeter.
“Sama panjangnya juga 190 sampai 200 centimeter, menyesuaikan dengan pesanan juga. Kalau pakai alumunium foil kan kedap, nanti mungkin mayatnya dibungkus lagi dengan plastik,” ujar Saring.
Namun, dirinya juga menerima pesanan untuk jenazah anak kecil dengan harga 700 sampai 800 ribu rupiah. “Semua tergantung pesanan, mereka mau seperti apa saja usahakan,” jelas Saring.
Saring ibarat agen peti mati. Pasalnya, dia tak memasarkan langsung barang dagangannya itu, melainkan melalui tangan kedua. Biasanya dia mendapat pesanan dari perantara sopir ambulance yang sengaja memasarkan ke konsumen atau pihak rumah sakit sebagai persediaan. “Tidak enak kalau saya pasarkan langsung, bagi-bagi rezeki. Dia yang pasarkan (sopir ambulance), saya yang buat. Dari awal saya buat juga seperti itu,” katanya.
Sepuluh tahun sudah dia menjalani profesi sebagai pengrajin peti mati. Dimulai sejak 2010. Awalnya Saring juga berprofesi sebagai sopir ambulance. Mulanya, dia berfikir membuat peti mati hanya iseng saja, dari pemesan yang ingin membuat peti mati. Seiring berjalannya waktu, dia memutuskan berhenti dari profesi sebelumnya dan fokus menjadi pengrajin peti mati. “Iseng saja saya bisa buat. Saya tawarkan ke pelanggan. Mungkin karena harganya murah juga,” ujar Saring.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Rekan Saring yang berprofesi sebagai sopir ambulance pun tiba. Nur Ali baru saja tiba usai mengantar pesanan peti mati di salah satu rumah sakit di Kota Serang.
Senada dengan Saring, Ali juga merasakan peningkatan pemensan peti mati. “Alhamdulilah lumayan untuk tambah-tambahan di rumah. Dia (Saring) jual segitu saya jual segini,” ungkapnya.
Saat ini, konsumennya baru sekitaran wilayah Banten saja. “Di Tangsel (Kota Tangerang Selatan) sekarang sudah mesan 6, terus Banten 4,” ujar Ali.
Hingga berita ini ditulis jumlah penderita positif corona atau Covid-19 di Banten terus mengalami peningkatan. Terkini jumlahnya mencapai 44 orang dengan empat pasien di antaranya meninggal.
Sebaran positif corona di Banten hanya berada di tiga wilayah, yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan laman resmi infocorona.bantenprov.go.id yang diperbaharui Selasa (24/3) pasien positif corona paling banyak berada di Kabupaten Tangerang sebanyak 15 orang yang masih dirawat, dan satu sembuh, total 16 pasien.
Kemudian Kota Tangerang Selatan 13 pasien masih dirawat dan tiga orang meninggal, total 16. Sementara Kota Tangerang terdapat 11 pasien positif dan satu pasien meninggal. Total pasien positif corona di Banten sebanyak 44 orang, di mana 39 masih dirawat, 4 meninggal dan satu sembuh.
Selain pasien positif, di Banten juga terdapat pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 158 orang, di mana 142 masih dirawat dan 16 sembuh. Sementara orang dalam pengawasan (ODP) sebanyak 964 dengan rincian 839 masih dipantau, 125 dinyatakan sembuh. ODP tersebar di 8 kabupaten dan kota seluruh Banten. (irfan/dm)
Diskusi tentang ini post