A. Fahrie – Kabupaten Pandeglang
Bagi warga Pandeglang yang lahir di tahun 1970-an, pastinya pernah merasakan naik kereta api Rangkasbitung – Labuan. Sarana transportasi darat itu, pernah populer di daerah berjuluk Kota Sejuta Santri Seribu Ulama ini, antara tahun 1907 sampai 1980-an.
Namun, seiring perkembangan zaman, popularitas kereta api Rangkasbitung – Labuan, mulai dilupakan oleh masyarakat, terlebih dinonaktifkan di tahun 1982 silam. Berikut gambaran singkat, sisa kejayaan kereta api Rangasbitung – Labuan.
Diketahui, Kabupaten Pandeglang pernah menjadi daerah yang dilintasi kereta api, mulai dari stasiun Pandeglang, Cibiuk, Kadu Kacang, Cipeucang, Saketi, Kenanga, Babakan Lor, sampai Labuan. Jalur itu mulai dioperasikan tahun 1906 silam, dan menjadi sarana transportasi paling populer pada masanya.
Sarana transportasi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda itu, memiliki rute perjalanan mencapai lima trip pulang pergi, untuk penumpang dan barang dalam satu hari. Setiap hari, kereta api itu berangkat sekira pukul 05.13 WIB dari Labuan, dan tiba sekira pukul 07.51 WIB di Rangkasbitung.
Sedangkan untuk perjalanan kereta api yang terakhir, berangkat dari Rangkasbitung sekira pukul 16.00 WIB dan tiba di Labuan sekira pukul 18.24 WIB, dan Pandeglang menjadi stasiun paling sibuk.
Sejarah mencatat, stasiun Pandeglang melayani naik – turun penumpang sebanyak 53 sampai 136 ribu orang per tahunnya, dan mampu mengangkut barang sampai 7.000 ton per tahun.
Saat ini, tidak ada lagi yang tersisa dari peninggalan kejayaan itu. Selain tidak ada lagi bangunan yang tersisa, tempat yang sempat menjadi pusat keramaian itu beralih fungsi, serta banyak didirikan bangunan permanen dan semi permanen oleh masyarakat setempat.
Sebagian jalur kereta api yang ada di Kampung Pakalongan, Desa Kadomas, Kecamatan Pandeglang, dijadikan sebagai jalan lingkungan. Kondisi itu tidak hanya terjadi di wilayah Kecamatan Pandeglang, tetapi merata disemua stasiun yang ada.
Bantalan rel kereta api sebagai penahan guncangan di sepanjang jalur tersebut, juga sudah lapuk dan sebagian perlintasan kereta sudah tidak memiliki bantalan.
“Tahun 1982 kereta api itu berhenti beroperasi. Tetapi, karena orang jarang naik kereta api lebih cenderung naik bus, karena waktu itu bus lagi gencar-gencarnya. Karena jarang di pakai, maka dihentikan operasionalnya,” kata Dadan Sujana, Seorang Sejarawan Banten, Minggu (9/7/2023).
Bukan hanya itu, jalan kereta api yang terbuat dari baja murni itu, sudah banyak yang hilang akibat dicuri oleh tangan-tangan jahil. Tidak adanya pengawasan dari pemerintah terhadap aset negara, menjadi salah satu penyebab tidak terjaganya peninggalan pemerintah kolonial Belanda tersebut.
“Sekarang memang banyak yang hilang relnya (jalur kereta api,red). Stasiun Pandeglang juga sudah enggak ada bangunannya,” lanjut Dadan.
Kini, Pemerintah Pusat mencoba untuk menghidupkan kembali sarana transportasi tersebut, dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 1 Triliun dari Anggaran Pandepatan dan Belanja Nasional (APBN).
Bahkan, Pemkab Pandeglang mencoba melakukan upaya jemput bola, agar reaktivasi jalur kereta yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pandeglang bisa terselesaikan tepat waktu.
Sejauh ini, Pemerintah Pusat melalui kementerian terkait, sudah mulai melaksanakan program reaktivasi tersebut. Informasi terbaru, sudah mulai melakukan pemberian uang kerohiman bagi warga yang mendirikan bangunan dilahan tersebut.
“Pemberian kerohiman, segmen pertama dilakukan untuk rute Rangkasbitung – Kadomas. Segmen kedua, dari Kadomas – Labuan,” ujar Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Pandeglang, Atang Suhana. (*)
Diskusi tentang ini post