SATELITNEWS, COM, JAKARTA—Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menilai maraknya warga yang dipidana karena ketidaktahuan atau kealpaannya memelihara hewan langka sangat mengoyak rasa keadilan masyarakat. Terlebih di tengah banyak kasus korupsi yang justru dihukum ringan dan juga dugaan gratifikasi pejabat atau keluarga pejabat yang diabaikan oleh penegak hukum.
Hal itu menyikapi kasus I Nyoman Sukena yang terancam 5 tahun penjara lantaran memelihara 4 landak Jawa. Ia mendorong penegak hukum untuk menggunakan pendekatan humanis pada warga yang memelihara hewan dilindungi. Termasuk pelaku kejahatan lingkungan yang tidak bermaksud untuk dikomersilkan. Itu seharusnya hanya diberi hukum administratif saja sebagai efek jera.
“Ini hal yang memprihatinkan dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang penerapan hukum konservasi di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, seharusnya penerapan pidana jadi pilihan terakhir karena toh mereka tidak tahu kalau memelihara satwa dilindungi,” kata Gilang Dhielafararez kepada wartawan, Kamis (12/9/2024).
Sukena awalnya ditangkap oleh Ditreskrimsus Polda Bali lantaran memelihara landak, pada 4 Maret 2024. Empat ekor landak yang dipelihara Sukena merupakan spesies landak Jawa atau Hystrix javanica. Sukena memperoleh hewan pengerat yang memiliki rambut tebal dan berbentuk duri tajam itu dari mertuanya. Landak tersebut awalnya hanya dua ekor, kemudian dipelihara Sukena hingga bertambah dua ekor.
Sukena didakwa melanggar Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Gilang menilai, kasus-kasus seperti ini menunjukkan hukum tidak berpihak pada rakyat kecil.
“Bagaimana bisa sebuah kealpaan memelihara hewan langka bisa dihukum lebih berat ketimbang korupsi yang direncanakan menggarong uang rakyat,” sambungnya. Gilang menyebut, kasus pidana lingkungan seperti Sukena seharusnya memerhatikan asas ultimum remedium di mana hukuman pidana adalah upaya terakhir. Gilang menilai, sanksi administratif akan lebih tepat.
“Karena kan hewan yang dilindungi ini tidak diperjualbelikan, dan mereka memelihara juga atas ketidaktahuan terhadap aturan. Harusnya sanksi lebih bersifat pembinaan,” tegas Gilang. Dalam kasus Sukena pendekatan keadilan restoratif atau Restorative Justice tidak bisa diterapkan, karena tidak adanya korban yang dirugikan. Kasus memelihara satwa dilindungi tersebut masuk kualifikasi sebagai pelanggaran terhadap hukum administrasi pidana dengan ancaman pidana kumulatif, yaitu pidana penjara dan denda.
“Penegak hukum semestinya lebih bijaksana. Terapkan saja sanksi administratif, misalnya denda sebagai bagian dari pencegahan dan pemulihan lingkungan,” terang Gilang. Menurutnya, asas ultimum remedium sangat dibutuhkan pada kasus-kasus seperti yang menimpa Sukena. Gilang menyebut hal itu untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan proporsional. “Kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak tentang pentingnya memahami dan mematuhi hukum konservasi, tetapi juga tentang bagaimana hukum diterapkan dengan bijaksana,” pungkasnya. (jpg)
Diskusi tentang ini post