SATELITNEWS.COM, SERANG–Provinsi Banten masuk peringkat sembilan nasional, sebagai daerah dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ini merupakan prestasi tertinggi dalam sejarah, dimana Provinsi Banten dianggap sebagai daerah darurat kekerasan.
Peringkat kesembilan itu, berdasarkan lansiran dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). Dimana, posisi Provinsi Banten berada di nomor 9 tingkat nasional dengan jumlah kekerasan perempuan dan anak paling tinggi. Provinsi Banten, hanya lebih baik satu tingkat di bawah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam data SIMFONI PPA, Provinsi Banten melaporkan ada 1.131 kasus kekerasan perempuan dan anak selama tahun 2022, dengan korban laki-laki 168 orang dan korban perempuan 1.005 orang. Sementara, tiga daerah dengan tingkat paling tinggi angka kekerasan perempuan dan anaknya Se-Indonesia yaitu, Jawa Timur dengan 2.367 kasus, Jawa Tengah dengan 2.204 kasus, dan Jawa Barat dengan 2.001 kasus.
Sebanyak 1.131 kasus kekerasan perempuan dan anak selama tahun 2022, yang terjadi di Provinsi Banten itu tersebar di 8 kabupaten/kota yaitu, Kabupaten Pandeglang 47 kasus, Kabupaten Lebak 149 kasus, Kabupaten Tangerang 91 kasus, Kabupaten Serang 143 kasus, Kota Cilegon 156 kasus, Kota Tangerang 234 kasus, Kota Tangsel 230 kasus, dan Kota Serang 81 kasus.
Kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Provinsi Banten, memang mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang sama, pada tahun 2018 jumlah kasus 430, tahun 2019 ada 536 kasus, tahun 2020 ada 472 kasus, tahun 2021 ada 829 kasus, dan pada tahun 2022 melonjak menjadi 1.131 kasus.
Masih berdasarkan data data SIMFONI PPA, tempat terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak secara umum di Indonesia terjadi di rumah tangga dengan 2.859 kasus. Disusul kemudian tempat lainnya dengan 991 kasus, fasilitas umum dengan 373 kasus, sekolah dengan 264 kasus, dan tempat kerja dengan 59 kasus.
Adapun jumlah korban, berdasarkan lokasi terjadinya tindak kekerasan, juga paling banyak ada di rumah tangga dengan 3.052 kasus. Disusul kemudian tempat lainnya dengan 1.047 kasus, fasilitas umum dengan 409 kasus, sekolah dengan 320 kasus, dan tempat kerja dengan 65 kasus.
Dilihat dari jenis kekerasan yang dialami perempuan dan anak, yang paling banyak merupakan kekerasan seksual dengan 1.980 kasus, kekerasan psikis dengan 1.447 kasus, dan kekerasan fisik dengan 1.446 kasus.
Bila melihat kedua data tersebut, rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak malah menjadi lokasi paling banyak terjadinya tindak kekerasan.
Masih berdasarkan data yang sama, bila melihat dari usia, korban paling banyak berusia 13-17 tahun dengan jumlah 1.688 kasus dan yang paling banyak adalah anak usia 1.395.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten, Siti Ma’ani Nina, saat dikonfirmasi membenarkan bahwa Banten masuk ke dalam 10 besar nasional dengan tingkat kekerasan perempuan dan anak paling tinggi.
Meski demikian, dia mengingatkan, bahwa jumlah itu bisa jadi hanya fenomena gunung es yang tidak mencerminkan realita yang sesungguhnya.
“Sebab, masih ditemukan ada kasus kekerasan seksual pada anak berakhir dengan damai atau korban tidak mau melaporkan karena pelaku masih sanak famili. Karena itu, dia mengingatkan agar para korban melaporkan setiap tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak,” ujar Nina, Selasa (7/3/2023).
Terkait data yang dirilis SIMFONI PPA, Nina mengatakan, bahwa jumlah itu adalah jumlah kasus yang ditangani oleh DP3AKKB Provinsi Banten. Dengan penanganan itu, dinas memberikan perlindungan kepada korban, baik pendampingan psikologi maupun lainnya.
“Itu yang kita selamatkan, penanganannya,” katanya.
Diakui Nina, sepanjang tahun 2022 sebanyak 646 kasus yang ia selamatkan. Dalam artian, para korban kekerasan melaporkan Tindakan yang dialaminya dan kemudian pihaknya melalukan berbagai Langkah penanganan seperti pendampingan psikologis kepada korban, Kesehatan dan Pendidikan sampai trauma yang mereka alami hilang.
“Adapun untuk para pelaku, kita serahkan sepenuhnya kepada APH yang menangani,” pungkasnya.
Sebelumnya, Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten, menyoroti terkait dengan maraknya kasus kekerasan yang banyak ditemukan di dunia Pondok Pesantren pada awal tahun 2023 ini. Bahkan mirisnya, pelaku kekerasan seksual itu dilakukan oleh pengasuh dan pimpinan Pondok itu sendiri.
Ketua Komnas PA Provinsi Banten Hendri Gunawan merinci, setidaknya ada lima kasus kekerasan seksual yang menimpa para santri di awal tahun 2023 ini, yang terdiri dari kasus di Ponpes Kecamatan Kasemen, Kota Serang yang menimpa seorang santriwati yang sampai melahirkan di pondok.
Kemudian di Ponpes Kecamatan Tanara, yang juga pelakunya merupakan pimpinan Ponpes. Selain itu, Ustadz di Pesantren Petir juga dilaporkan terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual juga dilaporkan terjadi salah satu pesantren di Bandung, Kabupaten Serang.
Pelaku kekerasan seksual dalam beberapa kasus terakhir adalah pengasuh dan pimpinan pesantren, bahkan tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan bagi para santri. “Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dalam menangani kasus kekerasan seksual di pesantren,” kata Hendri. (mg2)
Diskusi tentang ini post