SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah akademisi dan aktivis mengkritik dibatalkannya revisi Pasal 8 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang memangkas keterwakilan perempuan. Keputusan itu dinilai sebagai bentuk lemahnya independensi penyelenggara pemilu.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya KPU sepakat mengembalikan norma tersebut ke aturan lama setelah panen kritik. Namun, sembilan fraksi di DPR menolak rencana itu dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI.
Pakar kepemiluan yang juga guru besar Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan, sejak awal dikeluarkan, norma tersebut sudah terkesan janggal. Sebab, saat tidak ada perubahan di level Undang-Undang (UU) Pemilu, aturan di tingkat teknisnya malah berubah.
Ramlan sendiri mengkritik sikap KPU yang dinilai terlalu mengakomodasi DPR. Padahal, pembuatan peraturan teknis sepenuhnya kewenangan penyelenggara. Mantan ketua KPU itu mengingatkan, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016 yang menjamin kemandirian KPU. “Putusan MK kan konsultasi (DPR) tidak mengikat,” imbuhnya. Terlebih jika rekomendasi tersebut melanggar UU.
Pakar kepemiluan Universitas Indonesia Valina Sinka Subekti menyampaikan hal serupa. Dengan kemandirian yang dijamin konstitusi, semestinya KPU bisa menunjukkan sikap independen. “KPU harus percaya diri untuk jalan (melakukan revisi, Red),” ujarnya.
Sementara itu, 26 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melayangkan somasi ke KPU, Bawaslu, dan DKPP. Mereka menuntut revisi dilanjutkan.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebut sudah mengakomodasi kritik publik. Bahkan sudah menginisiasi perubahan meski kemudian ditolak. “Temen-temen kan sudah mengikuti semua (kronologi),” ujarnya.
Meski demikian, Hasyim mengklaim bahwa semua partai telah memenuhi ketentuan minimal 30 persen saat menyerahkan Bacalegnya. Untuk itu, pihaknya belum berencana mengusulkan perubahan lagi. (jpc)
Diskusi tentang ini post