SATELITNEWS.COM, SERANG–Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Serang, mencatat baru 77 desa atau 24 persen dari 326 desa yang ada di wilayahnya telah mendeklarasikan untuk Stop Buang air Besar Sembarangan (SBS). Dengan jumlah tersebut masih banyak desa yang masih terdapat budaya Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau dolbon.
Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinkes Kabupaten Serang, Istianah Hariyanti mengatakan, tinja dari BABS atau dolbon itu bisa menjadi sumber penularan penyakit dan bisa mencemari sumber air bersih manakala BABS di aliran sungai. Sumber penyakit yang ditularkan melaui tinja yaitu, tipes, diare, polio dan lainnya.
“Mayoritas warga dolbon itu diruang terbuka, dan itu gampang menyebar sumber penyakit, apalagi dolbonnya di sungai yang sering dipakai untuk mencuci hingga mandi. Sehingga, air yang mengalir sudah tercampur dengan tinja ini akan menjadi sumber penyakit,” kata Istianah, Minggu (11/6/2023).
Ia menuturkan, dari 77 desa yang sudah deklarasi SBS itu dipastikan tidak ada lagi warga dengan perilaku BABS atau dolbon di desa tersebut. Selain itu, pihaknya juga membentuk kerjasama dengan PUPR dan DPKPTB Kabupaten Serang, supaya bisa mengentaskan permasalahan perilaku BABS.
“SBS itu, manakala ada desa yang mau mendeklarasikan, baru kita turun ke lapangan untuk memastikan apakah sudah tidak ada yang dolbon lagi. Selain itu, kita lihat juga kepemilikan WC dan jambannya sudah memenuhi rasio dengan jumlah penduduk atau belum, dan prilaku masyarakatnya juga baru kita deklarasikan. Harapan kita targetnya sampai 100 persen, supaya Kabupaten Serang bebas dolbon,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan, alasan warga masih banyak yang BABS atau dolbon bukan hanya dari faktor ekonomi, melainkan perilaku warga yang sudah terbiasa dolbon meskipun di rumahnya terdapat WC. Sehingga, pihaknya terus berupaya melakukan sosialisasi hidup bersih dan sehat mengenai larangan BABS atau dolbon, supaya perilaku ini perlahan dapat dirubah.
“Disisi lain, kita sudah melatih petugas sanitarian dari puskesmas tentang sanitasi total berbasis masyarakat termasuk teknik bagaimana melakukan pemicuan supaya masyarakat mau membuat jamban sendiri, dan sepitengnya. Kita juga sambil praktek percontohan untuk jamban sehat, praktek pemicuan itu salah satu upaya kita untuk mengentaskan stop dolbon,” ujarnya.
Meski sudah terdapat banyaknya Mandi Cuci Kakus (MCK) umum di berbagai desa, kata dia, banyak yang terbengkalai atau sudah tidak terpakai. Penyebabnya, lantaran warga masih lebih nyaman untuk BAB di ruang terbuka dibanding di tempat MCK.
“MCK umum sudah kita bangun, tapi nyatanya banyak yang sudah tidak terpakai. Artinya, percuma meskipun kami banyak membangun MCK, tapi perilaku warganya masih rendah, mereka ini lebih nyaman BAB di ruang terbuka. Jadi, faktor perilaku kebiasaan ini yang harus kita rubah,” pungkasnya. (sidik)
Diskusi tentang ini post