SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Sosialisasi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) sudah layaknya kampanye. Batasan antara kampanye dan sosialisasi perlu diperjelas lagi.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, Arfianto Purbolaksono mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggaran pemilu mempertegas lagi definisi sosialisasi dan kampanye. Keduanya harus ada batasan yang jelas.
“Saat ini sosialisasi yang dilakukan peserta pemilu ujung-ujungnya sama dengan kampanye. Mereka sama-sama berlomba-lomba memikat simpati calon pemilih agar mendapat suara,” katanya di Jakarta, kemarin.
Padahal, kata Arfianto, dari namanya saja sudah berbeda; sosialisasi dan kampanye. Namun, pada praktiknya, ujung-ujungnya mereka melakukan kampanye. Dia mengingatkan, definisi sosialisasi dan kampanye sudah tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu.
“Pada ayat 2 Pasal 25 PKPU bahwa parpol melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal. Metodenya melakukan pemasangan bendera, juga pertemuan terbatas untuk internalnya mereka,” jelas dia.
Pada kenyataannya di lapangan, kata Arfianto, justru tidak ada bedanya. Menurut dia, sosialisasi yang dilakukan peserta pemilu, baik parpol, bakal calon anggota legislatif (bacaleg), maupun bakal calon presiden (capres) tidak lagi berada di internal partai, tetapi berada di ruang publik.
“Kita lihat banyak bertebaran spanduk, baliho di jalan-jalan, bahkan di tempat-tempat yang dekat dengan ruang publik,” sebut dia.
Karena itu, Arfianto mengingatkan kembali adanya Pasal 25 Ayat (2) PKPU Nomor 33 Tahun 2018. Yaitu, partai politik dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai politik dengan dua metode.
“Poin a, pemasangan bendera partai politik peserta pemilu dan nomor urutnya. Poin b melakukan pertemuan terbatas, dengan memberitahukan secara tertulis kepada KPU dan Bawaslu paling lambat 1 (satu) hari sebelum kegiatan dilaksanakan,” jelasnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Algoritma, Aditya Perdana mengatakan, sampai saat ini polarisasi politik masih belum terlihat. Dia merasa, perbedaan preferensi pilihan masyarakat, semua masih dalam spektrum yang sama.
“Jika dilihat pendapat soal Undang-Undang Miras, pemilih semua parpol cenderung setuju larangan miras harus dilakukan, bahkan datang dari responden yang menjadi peminum miras,” katanya.
Aditya membeberkan, hampir semua pemilih dari partai-partai yang ada di parlemen setuju terhadap larangan Miras. Kata dia, persetujuan paling tinggi dari pemilih PKS, dan persetujuan paling rendah datang dari pemilih PDIP.
“Kemudian, dilihat isu lain seperti kepemimpinan perempuan. Pemilih-pemilih dari partai parlemen cenderung moderat, tidak mempermasalahkan dan menilai pemimpin perempuan bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan lagi,” jelas dia.
Menariknya, kata Aditya, dari dimensi politik, dalam memilih pemimpin apakah harus seiman dan seagama, semua pemilih partai setuju persamaan iman dan agama penting. Persetujuan paling tinggi ada di PKB, paling rendah di PDIP.
“Dari dimensi ekonomi, pemilih dari semua partai mayoritas setuju subsidi Pemerintah, paling tinggi PPP dan paling rendah PKS. Sedangkan, terkait peran negara mengatur kompetisi, persetujuan pemilih PKB paling tinggi,” pungkasnya. (rm)
Diskusi tentang ini post