EKONOMI merah muda (pink economy) belum banyak didiskusikan secara terbuka di Indonesia. Selain karena belum begitu populer, istilah ini juga diasosiasikan pada kelompok yang belum diterima dalam sistem sosial-budaya masyarakat Indonesia. Padahal penyikapan terhadap pink economy menjadi penting di tengah diskusi tentang Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, Queer, dan lainnya (LGBTQ+) yang kian mengemuka.
Jika istilah ekonomi hijau (green economy) berorientasi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi biru (blue economy) berbasis kelautan, maka ekonomi merah muda punya konteks yang berbeda. Alih-alih menjadi orientasi pembangunan ekonomi berkelanjutan di dunia, pink economy melahirkan pro-kontra tak berujung.
Pink economy adalah istilah yang mengacu pada sektor ekonomi yang berhubungan dengan bisnis, produk, dan layanan yang ditujukan untuk konsumen LGBTQ+. Istilah ini pertama kali muncul pada awal tahun 2000-an. Salah satu pendapat mengatakan bahwa istilah pink economy pertama kali digunakan oleh dewan pemerintah Jepang pada tahun 2002 untuk mendorong sektor bisnis dan industri yang terkait dengan komunitas LGBTQ+ dengan harapan dapat meningkatkan ekonomi negara, karena di Jepang warna merah muda telah lama dianggap terkait dengan komunitas LGBTQ+. Penjelasan lain menghubungkan asal usul istilah ini dengan penggunaan warna merah muda sebagai simbol gerakan perjuangan hak-hak LGBTQ+. Warna merah muda telah lama digunakan sebagai lambang perjuangan dan solidaritas oleh komunitas LGBTQ+ dalam upaya memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan.
Pink economy mencakup berbagai macam industri dan bidang bisnis, termasuk mode, pariwisata, hiburan, perhotelan, perawatan pribadi, seni, media, teknologi, dan banyak lagi. Bisnis dalam pink economy biasanya menargetkan dan mencoba melayani kebutuhan dan preferensi khusus konsumen LGBTQ+. Penting untuk diingat, bahwa pink economy bukan hanya tentang produksi barang dan jasa untuk konsumen LGBTQ+, tetapi sekaligus juga mencakup dukungan terhadap hak-hak yang mereka perjuangkan.
Sejak munculnya istilah ini, pink economy telah berkembang pesat di berbagai negara dunia. Industri seperti mode, pariwisata, hiburan, perhotelan, teknologi, dan lain-lain telah memanfaatkan potensi pasar dari konsumen LGBTQ+ ini. Jepang dianggap sebagai salah satu pelopor. Jepang memiliki banyak restoran, bar, dan tempat hiburan yang ditujukan khusus untuk LGBTQ+, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka.
Amerika Serikat memiliki pink economy yang besar dan beragam. Industri mode, hiburan, teknologi, dan perjalanan semuanya memiliki bagian yang signifikan dari pink economy. Beberapa kota seperti New York, San Francisco, dan Los Angeles dikenal memiliki banyak bisnis sebagai tujuan utama bagi komunitas LGBT+. Belanda juga negara yang disebut ramah LGBTQ+. Amsterdam, ibu kota Belanda, dikenal sebagai salah satu kota yang paling ramah LGBTQ+ di dunia, dengan banyak tempat-tempat yang ditujukan khusus untuk komunitas LGBTQ+.
Adapun di Brasil, Rio de Janeiro dan São Paulo memiliki komunitas LGBTQ+ yang aktif, dan industri pariwisata serta hiburan menarik banyak wisatawan LGBTQ+. Demikian pula Taiwan. Taiwan menjadi negara Asia pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2019. Sejak itu, Taiwan telah menjadi tujuan populer bagi pasangan LGBTQ+ yang ingin menikah dan berlibur, sehingga memberikan dorongan bagi perkembangan pink economy di negara ini.
Negara lain adalah Australia, merupakan negara dengan pink economy yang maju. Kota-kota seperti Sydney dan Melbourne memiliki banyak bisnis yang ramah LGBTQ+ dan berbagai acara dan festival LGBTQ+ yang diadakan secara rutin. Adapun India adalah negara di Asia Selatan dengan perkembangan pink economy yang semakin menonjol. Di beberapa kota metropolitan seperti Mumbai dan Delhi, pink economy semakin berkembang dengan munculnya berbagai bisnis yang melayani komunitas LGBTQ+.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang tidak melegalkan LGBTQ+ dan dengan masyarakat yang tidak menerima eksistensi mereka sebagai bagian dari sistem sosial-budaya Indonesia, ada beberapa hal yang perlu disikapi.
Pertama, pasar pink economy di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Komunitas LGBTQ+ di Indonesia diperkirakan mencapai jutaan orang. Mereka menuntut kebutuhan dan preferensinya sebagai konsumen diakui. Industri seperti mode, pariwisata, hiburan, dan teknologi dapat mengambil manfaat dari meningkatnya daya beli komunitas LGBTQ+.
Karena itu, pemerintah perlu selektif dalam memberikan izin kepada pelaku ekonomi. Jangan sampai kemudahan proses perizinan usaha dan aktivitas bisnis menjadi pintu masuk komersialisasi pink economy yang lebih masif. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaku bisnis dan usaha yang telah berjalan selama ini. Jangan-jangan mereka menjadi bagian yang memfasilitasi perkembangan bisnis merah muda ini.
Kedua, meningkatnya kehadiran pink economy akan berbanding lurus dengan upaya komunitas LGBTQ+ mempromosikan kesadaran dan penerimaan terhadap mereka. Hal ini akan semakin memperbesar resistensi dan penolakan sebagian masyarakat, yang pada gilirannya kian menciptakan polarisasi dan kegaduhan di tengah masyarakat. Isu LGBTQ+ menjadi bahasan yang sensitif dan telah menarik kita pada pusaran perdebatan tak berkesudahan.
Namun demikian, patut diingat bahwa komunitas LGBTQ+ bagaimana pun adalah warga negara yang memiliki hak untuk dilindungi oleh konstitusi. Menyikapi dan mewaspadai potensi perkembangan pink economy tidak berarti membuat komunitas ini kehilangan hak-haknya yang substansial sebagai warga negara. Diperlukan jalan tengah antara inklusi sosial dan nilai-nilai keindonesiaan. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post