Pemilihan umum (Pemilu) akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024, perhelatan akbar lima tahunan ini terasa panas akhir-akhir ini, terlebih setelah dimulainya masa kampanye yang dimulai 28 November hingga 10 Februari 2024.
“Jual beli” program serta perang gagasan sudah dimulai, termasuk yang menjadi sasaran adalah dunia Pendidikan dan para guru.
Dunia Pendidikan, merupakan segmentasi besar yang menjadi taruhan perebutan elektoral selain dunia buruh dan gen-Z. Pertarungan antar kontestan, menjadi keniscayaan demi meraup suara besar menuju target kemenangan.
Namun, gagasan terkait program Pendidikan belum menjadi fokus para Calon Presiden (Capres), apakah terkait pembenahan kurikulum serta perubahan besar Pendidikan agar bisa sejajar dengan Pendidikan dengan negara-negara maju. Karena isu Pendidikan sangat kompleks, sehingga perlu komitmen serius untuk membenahi sistem Pendidikan di Indonesia.
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia”. Begitu menurut Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan yang menjadi tokoh inspiratif, karena keberaniannya dalam melawan praktik apartheid di Afrika Selatan.
Pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam pembangunan demi keselamatan bumi dan manusia, tak heran bila pendidikan yang bermutu menjadi salah satu tujuan. Lalu bagaimana dengan Pendidikan Indonesia?
Rendahnya Pendidikan Indonesia,
Berdasarkan data yang dirilis oleh worldtop20.org pada tahun 2023, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia.
Peringkat tersebut dihasilkan, dengan berdasar pada lima tingkat pendidikan di Indonesia, yakni tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini sebanyak 68%, tingkat penyelesaian Sekolah Dasar (SD) 100%, tingkat penyelesaian Sekolah Menengah 91.19%, tingkat kelulusan SMA 78% dan tingkat kelulusan Perguruan Tinggi 19%.
Halnya sama dengan peringkat tahun lalu yakni tahun 2022, peringkat pendidikan Indonesia juga sama yakni peringkat ke-67. Hal ini, mengindikasikan bahwa masih kurangnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sedangkan, berdasarkan data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu peringkat ke-37 dari 57 negara yang didata.
Daya saing yang rendah tentu termasuk salah satu dari alat ukur pendidikan yang berkualitas, dan hal ini didukung oleh survei dari Political and Economic Risk Consultant (PERC), yang menyatakan bahwa pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Kemudian, menurut survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara.
Tuntutan Profesionalisme Tanpa Kesejahteraan
Ada beberapa faktor yang menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan, yaitu sarana prasarana serta sistem pembelajaran, siswa, dan guru. Guru adalah sosok yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan pendidikan.
Dalam Pasal 39 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru sebagai tenaga pendidik memiliki tugas untuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat. Sayangnya, tidak sedikit guru di Indonesia yang tidak memiliki profesionalisme dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
Mengapa profesionalisme guru selalu menjadi problem, hal ini tidaklah mengherankan, karena ada keterkaitan antara buruknya profesionalisme guru tersebut dengan rendahnya tingkat kesejahteraan guru di Indonesia.
Guru di Indonesia digaji dengan gaji yang termasuk rendah. Bahkan ada guru yang pencairan gajinya tertunda selama beberapa bulan. Guru honorer pun harus merasakan ketakutan dan kekhawatiran bila sewaktu-waktu kontraknya diputus dengan problem dengan banyaknya guru yang belum sejahtera yang akhirnya mempengaruhi cara mereka mengajar para siswa.
Harusnya kita bisa menyadari bahwa guru itu sangat potensial dan strategis. Secerdas apapun materinya, bahan ajarnya, kalau guru tidak teredukasi, tidak dituntaskan permasalahannya dalam hal ini kesejahteraannya, bahan ajar itu tidak akan terdistribusi ke lapangan, tidak akan sampai konsep merdeka belajar itu seperti harapan dalam implementasi kurikulum merdeka.
Ritual “Rayuan Maut” menjelang Pemilu
Menjelang pemilu 2024 sudah mulai membicarakan kesejahteraan guru, dengan jumlah guru yang hampir 3,5 jt orang merupakan “Ceruk” massa yang menggiurkan bagi para Capres.
Perhatian pasangan Capres sudah mengkampayekan kesejahteraan guru, seperti gaji guru 30 juta/ per-bulan, guru honorer akan diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) serta “Rayuan” lainnya terkait janji-janji kampanye.
Meski Capres menawarkan sejuta solusi, apabila tidak diimbangi dengan komitmen kuat untuk mengimplementasikannya, semua hanya menjadi retorika politik. Untuk itu, guru harus menelaah dan menelisik secara mendalam janji-janji politik itu agar tidak salah langkah dalam memilih, dan akibatnya akan mereka rasakan setidaknya lima tahun ke depan.
Sejauh ini, rasanya guru hanya dijadikan obyek, dan bukan subyek, pendidikan. Guru lebih sering menjalankan kebijakan dari atas dan terkesan hanya dititipkan banyak persoalan ketimbang dibantu untuk menyelesaikan masalah yang membelitnya, seperti kesejahteraan, perlindungan, dan kompetensi guru.
Tanpa kemauan politik dan komitmen serius dari para pengambil kebijakan, kesulitan guru tidak akan pernah terselesaikan.
Janji Capres untuk peningkatan kesejahteraan guru, hendaknya dicatat dan kita tunggu saja pembuktiannya kelak. (*)
*Penulis adalah Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kota Tangerang