SATELITNEWS.COM, JAKARTA—BMKG memastikan, cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat gelombang panas atau heatwave. Cuaca panas tersebut akibat peralihan musim.
“Memang betul, saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52°C. Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43°C pada minggu ini,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, di Jakarta, Senin (6/5).
Kondisi Indonesia berbeda. “Khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya,” kata Dwikora.
Kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara. Sehingga dimungkinkan terjadinya penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik.
“Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya gelombang panas di wilayah Kepulauan Indonesia,” ujarnya.
Suhu panas yang terjadi adalah akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan. Kondisi “gerah” ini, merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau, sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi.
“Periode peralihan ini umumnya dicirikan dengan kondisi pagi hari yang cerah, siang hari yang terik dengan pertumbuhan awan yang pesat diiringi peningkatan suhu udara, kemudian terjadi hujan pada siang menjelang sore hari atau sore menjelang malam hari,” papar Dwikora.
Pada malam hari, kondisi gerah serupa juga dapat terasa jika langit masih tertutup awan dengan suhu udara serta kelembaban udara yang relatif tinggi. Udara berangsur-angsur mendingin kembali jika hujan sudah mulai turun.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, Fachri Radjab menjelaskan, gelombang panas yang banyak melanda sejumlah negara di Asia diduga disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, gerakan semu matahari pada akhir April dan awal Mei ini berada di atas lintang 10 derajat Lintang Utara yang bertepatan dengan wilayah-wilayah Asia Tenggara daratan. Hal ini menyebabkan penyinaran matahari sangat terik dan memberikan background kondisi yang panas.
Kedua, anomali iklim El Nino 2023/2024. Analisis data historis menunjukkan bahwa saat terjadi El Nino, wilayah Asia Tenggara daratan akan mengalami anomali suhu hingga mencapai 2 derajat di atas normal pada periode Maret-April-Mei.
Faktor ketiga yaitu pengaruh pemanasan global, yang menyebabkan suhu terus meningkat dari tahun ke tahun. Kombinasi ketiga faktor tersebut menyebabkan suhu udara pada April-Mei ini menjadi sangat ekstrem di wilayah Asia Tenggara.
“Mudah-mudahan situasi tersebut tidak terjadi di Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, hingga awal Mei 2024 baru sebanyak 8 persen wilayah Indonesia (56 Zona Musim atau ZOM) telah memasuki musim kemarau. Yakni sebagian Aceh, sebagian Sumatera Utara, Riau bagian utara, sekitar Pangandaran Jawa Barat, sebagian Sulawesi Tengah dan sebagian Maluku Utara. (rmg/san)