SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Tim Advokat Untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan, ada 21 demonstran yang terluka dalam aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Pilkada pada Kamis (22/8/2024) pekan lalu. Ke-21 orang tersebut luka-luka disebabkan brutalitas aparat pengamanan dari TNI/Polri.
“Mereka mengalami luka-luka baik fisik maupun psikis akibat kekerasan” ujar Gema dalam konferensi pers Brutalitas Aparat Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2024).
“Pelaku kekerasan adalah anggota TNI maupun Polri dengan atau tanpa seragam resmi,” imbuh dia.
Gema menuturkan, penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan dan tidak perlu menyebabkan banyak pengunjuk rasa yang mengalami luka-luka. Pukulan benda tumpul dan gas air mata oleh aparat masih menjadi bagian kekerasan, padahal aksi unjuk rasa berjalan dengan baik.
Gema juga menyoroti penangkapan terhadap demonstran di lapangan dilakukan secara acak tanpa identifikasi lebih lanjut mengenai siapa individu yang merupakan pelaku kerusuhan.
“Mereka yang ditangkap sewenang wenang mendapatkan kekerasan fisik maupun verbal baik dipukul, ditendang, dan tindakan lainnya,” ucap dia.
Selain itu, TAUD juga mencatat ada 29 demonstran yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya tanpa administrasi penyidikan yang lengkap. “Tanpa surat perintah penangkapan, surat izin penggeledahan dan penyitaan dari ketua pengadilan setempat,” kata Gema.
Ada 11 demonstran yang ditahan kemudian didampingi TAUD. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 211, 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan beberapa pasal yang merujuk terkait melawan petugas keamanan.
“Berdasarkan data dan fakta di atas, TAUD dengan tegas menyatakan bahwa aksi demonstrasi tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan hak untuk berkumpul, berekspresi, dan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi dan seharusnya dihormati,” ujar Gema.
TAUD juga menyatakan, ada sebanyak 11 jurnalis yang diduga menjadi korban kekerasaan yang diindikasikan dilakukan oleh aparat. Kekerasan ini dinilaimenjadi bukti adanya pelanggaran dalam perlindungan kerja pers.
“11 jurnalis yang melakukan peliputan pada demonstrasi 22 Agustus lalu mendapatkan kekerasan di depan Gedung DPR/MPR,” kata Gema.
“Bentuk-bentuk kekerasan kurang lebih berupa pemukulan intimidasi sampai dengan ancaman pembunuhan hal ini dilakukan kepada jurnalis yang sedang melakukan dokumentasi,” tambahnya.
Sebagian besar jurnalis mengalami kekerasan pada saat berupaya untuk mendokumentasikan untuk merekam tindakan brutalitas yang dilakukan oleh aparat baik TNI maupun Polri.
Menurut Gema, data dan analisis yang dikumpulkan memperkuat dugaan bahwa tindakan aparat kepolisian dan TNI dalam insiden tersebut merupakan pelanggaran terhadap jaminan perlindungan kerja pers. Kejadian ini memicu kekhawatiran akan semakin sempitnya ruang bagi kebebasan pers di Indonesia, yang seharusnya dilindungi sebagai pilar penting dalam demokrasi dan hak asasi manusia.
Gema mendesak pihak berwenang untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan dan memastikan perlindungan bagi jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
“Setelah bertahun-tahun mengesahkan Undang-Undang Pers, ternyata di tahun 2024 ini masih terdapat kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kerja-kerja persnya, dalam rangka memberikan informasi dan mendistribusikan informasi kepada masyarakat ataupun publik,” tegasnya.
Sebelumnya, unjuk rasa besar-besaran digelar di sejumlah kota untuk menolak revisi UU Pilkada, salah satu lokasi unjuk rasa adalah depan Gedung DPR, Jakarta. Publik menolak pengesahan revisi UU Pilkada karena substansinya bertentangan dengan pusuan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat calon kepala daerah. Dalam putusannya, MK menegaskan batas usia calon gubernur minimal 30 tahun, dan MK juga merevisi ambang batas (threshold) pencalonan dari semula 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu menjadi lebih rendah. (bbs/san)
Diskusi tentang ini post