SATELITNEWS.ID, SERPONG—Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tetap mengupayakan warga pasien Covid-19 bisa menyalurkan hak pilihnya di Pilkada serentak 09 Desember 2020. Pihak sudah berkoordinasi kepada masing-masing gugus tugas penanganan Covid-19 di daerah daerah yang menggelar Pilkada, termasuk Kota Tangsel.
“Yang memahami terkait dengan kondisi itu adalah gugus tugas dan petugas medis. Jadi sekali lagi kalau memang gugus tugas itu tidak mengizinkan, maka kami tidak melakukan atau kemudian menfasilitasi pasien covid menggunakan hak pilihnya,” kata komisioner KPU RI, Ilham Saputra, Minggu (06/12).
Menurutnya, sebenarnya bukan seperti bayangan ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono bahwa ini adalah orang-orang yang pakai ventilator dan lain sebagainya, tetapi tetap sesuai petunjuk medis.
Dia menegaskan bahwa Pasien Covid-19 yang berkesempatan menyalurkan hak pilihnya adalah orang tanpa gejala (OTG) yang kemudian masih bisa difasilitasi dengan koordinasi dengan rumah sakit. Bukan yang pakai ventilator, dirawat.
“Tapi kalau kemudian gugus tugas menyatakan tidak boleh maka kami tidak akan melakukan,” ujarnya.
Perlu disampaikan bahwa KPU berusaha untuk memastikan hak konstitusional masyarakat dengan berkoordinasi ke institusi yang berwenang. “Ya tentu juga hasil koordinasi dengan gugus tugas,” klaimnya.
Menanggapi hal itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan dalam penilaian ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Standar internasional memang melayani praktik hak pilih pasien Covid-19 ini telah dilakukan oleh beberapa negara penyelenggara pemilu di masa pandemi.
“Misalnya di India, Korea Selatan dan Amerika Serikat,” kata anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, Minggu (06/12).
Menurutnya, ketiga negara di atas memang mereka memiliki prosedur-prosedur yang sifatnya kelola pemilihan secara khusus. Misalnya memilih lewat pos.
“Kalau kita ini kan enggak. Jadi orangnya yang harus berinteraksi dengan petugas,” tegas Titi. Masalahnya adalah petugas yang melakukan pelayanan pemilihan bukan petugas kesehatan.
Tapi petugas yang hanya dilengkapi oleh alat pelindung diri. Sehingga penguasaan kepada pada pelayanan itu tidak terbiasa seperti tenaga kesehatan. “Tenaga kesehatan saja itu ada yang terpapar. Apalagi ini kalo orang yang biasa,” jelas Titi.
Kedua adalah untuk melakukan itu sepengetahuan pihaknya, belum tersedia. Beberapa pertimbangan tadi ia kira melihat perkembangan meningkatnya kasus positif Covid-19.
Lalu seperti tergagap dalam melakukan pelayanan terhadap pasien melihat yang bertugas bukan tenaga kesehatan. “Saya kira adalah bijaksana ditinjau ulang pemberian layanan kepada pasien Covid. Karena tadi kita enggak punya mekanisme layanan khusus yang bisa mengurangi interaksi seperti di negara-negara yang melayani pasien covid,” imbuhnya. (jarkasih)