PADA 7 Desember 2022, kita kembali dikejutkan oleh aksi Agus Sujatno atau biasa juga disebut Agus Muslim yang meledakkan diri di Mapolsek Astanaanyar Bandung. Ini untuk kesekian kalinya, aksi terorisme kembali dilakukan oleh mantan napiter. Berbagai opini pun berseliweran di tengah masyarakat yang mempertanyakan kedigdayaan deradikalisasi. Kasus diatas agaknya menjadi pemicu untuk mengkritisi kembali program deradikalisasi. Ada apa dengan program deradikalisasi…?
Ditambah lagi, berderetnya penelitian mutakhir yang mengungkap tumbuhkembangnya radikalisme khususnya di kalangan Gen Z dan Milenial bahkan pelajar seolah kian menjadi ‘samsak’ menghujamnya pukulan bertubi. Di luar itu, beberapa tokoh pun menyoroti deradikalisasi ini, bahkan sebagian dari mereka memandang deradikalisasi berjalan secara tidak konsisten dan berkesinambungan.
Otokritik ini menarik disimak, yang justru berlatar dari kepedulian terhadap efektifitas deradikalisasi. Berbeda dengan pandangan yang sudah sejak awal didasari oleh ‘kaca mata kuda’ yang berbuah pandangan miring bahkan sinis terhadap deradikalisasi.
Benarkah deradikalisasi mengalami ‘mengalami apa yang disebut dengan titik jenuh’? seolah tanpa kreasi dan terobosan fundamental. Tentunya, masih perlu ‘uji kelayakan’. Rasanya, tak bisa sertamerta untuk ‘mengukur’ deradikalisasi dengan penampakan yang sejauh pandang
Deradikalisasi, kenapa tidak diwajibkan…?
Secara substantif, deradikalisasi yang merupakan upaya untuk membalikkan dari ideologi radikal ke moderat dan menerima 4 konsensus kebangsaan jelas adalah kepentingan negara, bukan kepentingan individu ataupun kelompok. Deradikalisasi merupakan upaya dari negara untuk menertibkan warganya yang memiliki ideologi kekerasan untuk menerima ideologi negara dengan tanpa syarat. Karena itu, menjadi hal yang mengherankan ketika deradikalisasi menjadi sebuah “tawaran” kepada kepada narapidana terorisme. Bukankah negara memiliki kewajiban untuk menjaga ideologi Pancasila agar tidak “direcoki” oleh ideologi lain.
Ini persoalan pendekatan dan cara melakukan deradikalisasi saja. Tidak perlu secara formal mengatakan bahwa ini adalah program deradikalisasi, karena yang terpenting adalah substansinya yaitu bagaimana bisa membalikkan dari ideologi radikal menjadi tidak radikal. Inilah pentinganya kreasi baru untuk mampu menerobos alasan napiter tidak menerima deradikalisasi.
Bukankah deradikalisasi adalah pencerahan, di mana seseorang yang tadinya memiliki satu pandangan atau satu terma kemudian diberikan berbagai sudut pandang, sehingga memiliki berbagai alternatif untuk memihak dan bertindak. Jika begitu maka semestinya, deradikalisasi dapat menjadikan seseorang menjadi lebih pandai dan dewasa karena memiliki beragam alternatif pemahaman atas satu masalah. Nah…. Apakah ada orang yang tidak mau menjadi lebih pandai, dewasa dan lebih kaya alternatif dalam menyikapi satu masalah. Jika masih ada napiter yang menolak deradikalisasi, berarti ada yang salah dengan pembawaaan deradikalisasi.
Proses deradikalisasi tidak hanya persoalan materi deradikalisasi (kontra naratif) melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan pendekatan, strategi dan cara yang digunakan. Hal ini penting, karena banyak di antara mereka (yang memiliki paham radikal terorisme) justru membuka diri bukan karena materi kontra naratif yang diberikan melainkan karena proses pendekatan, strategi dan cara-cara yang digunakan. Sekali lagi, ini adalah persoalan pembawaan dalam melakukan deradikalisasi, bagaimana deradikalisasi bisa dilalui oleh napiter tanpa mereka menyadarinya.
Tawaran “9 Wisdom Deradikalisasi Terorisme”
Buku “9 Wisdom Deradikalisasi Terorisme” yang ditulis oleh penulis sendiri, mengungkap 9 kebijaksanaan yang dapat dilakukan dalam proses deradikalisasi yang lebih menekankan pada pendekatan kemanusiaan “humanisasi”. Pendekatan ini mengedepankan nilai–nilai kemanusiaan yang universal dengan mengungkap berbagai sisi kemanusiaan yang sebenarnya lazim dimiliki dan dirasakan oleh setiap orang, akan tetapi tidak “ngeh” atau tidak disadari sebagai titik masuk dan juga titik balik mereka untuk menyadari kekeliruan dengan mengikuti paham radikal terorisme. Upaya membangun keterbukaan dan kesadaran itulah yang menjadi point penting dari 9 wisdom tersebut, yaitu pertama, Pelajari dulu kasus dan jaringannya, kedua kenali jaringannya, ketiga pandang dengan tatapan kesetaraan, keempat tebarlah belas kasih, kelima dekatilah dengan hati, keenam siap jadi pendengar yang baik, ketujuh ingatkan indahnya keluarga, kedelapan pakai ilmu dong dan kesembilan rawatlah dengan ketelatenan.
“Tim hantu”
Kerja, kerja dan kerja, ini merupakan semboyan yang terus dikibarkan oleh tim pelaksana deradikalisasi. Ya, mereka bekerja tidak dibawah sorotan apapun. Mereka bekerja dalam ‘senyap’ tanpa gaduh, citra dan basa-basi. Mereka ini laiknya disemati sebagai ‘tim hantu’.
Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik varian dan tipologi mereka. Karenanya, tim perlu bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka harus mampu menaksir, menakar dan menilai seraya memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka senantiasa berlaku sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh kesah. Dalam bekerja ini juga sebenarnya ada kesinambungan baik secara dukungan kebijakan maupun panggilan pribadi. Tak heran, tim banyak menemukan fakta terjadinya jalinan yang baik dengan mantan napiter, keluarga dan jaringannya.
Bukankah keberadaan teroris bagaikan ‘hantu’?. Mereka bisa bergentayangan dimana-mana. Aksinya pun juga tak bisa ditebak, tiba-tiba menggelegar dan membuat publik gemetar, seperti yang kemaren terjadi di Mapolsek Astana Anyar, seolah tanpa angin tanpa hujan, seorang Agus Muslim tiba-tiba meledakkan diri. Ini fakta yang dilakukan oleh kalangan ‘teroris aktif’. Sementara mereka para mantan teroris yang sudah bebas dari penjara, keberadaannya memang sudah terdeteksi karena lazimnya sudah terdata di Lapas. Hanya saja, mereka tak jarang pindah alamat, sehingga langkah menemui kadang berlarut-larut. Beda dengan kalangan jaringan yang seringkali sulit dideteksi. Untuk bisa mengungkap jaringan ini, diantaranya perlu kreasi pendekatan kepada para ‘narsum’ yaitu mantan napiter.
Disinilah peran ‘tim hantu’ yang melakukan perburuan terhadap jaringan radikal secara senyap. Ya mereka ibaratnya pula sebagai ‘ghostbuster’, tetapi bukan untuk ‘menghabisi’, melainkan melalui ‘jalan damai’ dengan mendekati dan merangkul sehingga menetaskan kesadaran kebangsaan, keagamaan moderat dan menerima keragaman sebagai kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak bisa diseragamkan. Bila aksi teroris membuat galau masyarakat, maka aksi ‘tim hantu’ ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada masyarakat. (*)
*(Pegiat Deradikalisasi, Dosen FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Direktur Pusat Kajian Moderasi Beragama)
Diskusi tentang ini post